REMINISCENSE THERAPY



RSJ Rajiman Wedyodiningrat (RSJ Lawang di Malang), mempunyai program unggulan psikogeriatri. Artinya pelayanan kesehatan jiwa untuk para lansia yang mengalami problem mental.Satu baangsal putra dan satu bangsal putri ddisediakan untuk itu, selain ruang untuk latihan Terapi Aktivitas Kelompok, dan halaman luas untuk berlatih jalan-jalan di luar. Dan masih ada lagi satu ruang, mirip museum, untuk Reminiscense Therapy (RT).

Seminggu dua kali orang-orang tua ini dimasukkan ruang RT ini untuk duduk-duduk berbincang-bincang yang nyaman. Kemudian para perawat psikogeeriatri mengeluarkan barang-barang kuno dari rak-rak, lemari-lemari, kotak-kotak di “museum” itu. Barang-brang antik itu seperti tongkat pegangan bengkok, setlikan besi dengan ayam jago kecil bertengger, kursi goyang kuno, topi keras bulat melingkar jaman Belanda, sepeda onthel, tempat main dakon berukir, pipa cangklong gading, kaca mata bulat, celana panjang drill katun dan jas drill kheki, keris dan tumbak pendek, teko teh dan piring porselin antik, meja marmer bulat kecil, gelas-gelas dan sendok porok antik, dan lain-lain barang-barang fungsional dalam kehidupan sehari-hari 50-60 tahun yang lalu.

Juga dikeluarkan foto-foto dan gambar-gambar kuno, dilapis karton dan plastik atau dalam album besar. Foto-foto bangunan kantor pos, pasar, alun-alun, tugu, Malioboro tempo doeloe, jembatan gantung, dokar/andong, grobag, bangunan-bangunan bersejarah yang setengah runtuh, rumah-rumah dan prempatan jalan, sungaisungai dan sampan bambu, gedung-gedung dan anak sekolah jaman doeloe, dan gambar-gambar iklan yang di kliping dari koran-koran jaman doeloe, bahkan buku-buku berilustrasi belajar membaca bahasa Jawa, Indonesia dan Belanda.

Para lansia itu kemudian diminta menceritakan atau berkomentar tentang kesan dan pengalamannya dengan benda-benda, foto-foto dan gambar antik itu pada teman-temannya dan perawat. Betapa senang dan terharunya mereka memandangi, memegang, mengelus-elus barang-barang dan foto-foto itu. Sebagian tertawa-tawa dan yang lain malah menitikkan air mata. Mereka teringat emosi dan pengalaman hidupnya dengan ibu bapaknya, kakeke neneknya waktu mereka masih kecil atau belia.

Saya dan teman-teman saya psikiater takjub dan terheran-heran ketika Winnie Agus SpKJ, teman saya psikiater dari RSJ Lawang (dokter UGM angkt 76), mempresentasikan Reminiscense Therapy ini dengan foto-foto slide yang bagus pada suatu pertemuan penyusunan buku pedoman psikogeriatri oleh Ditkeswa Depkes di Bandung. Kami heran, adakah efek terapeutiknya melihat dan mengingat benda-benda dan foto kuno itu bagi lansia? Benarkah itu bisa berefek positif?

Rupanya emosi dari ingatan pengalaman lama dengan barang-barang dan foto yang tlah lama terpendam, bisa muncul kembali. Dan itu memberikan kenyamanan, kegembiraan, atau rasa aman yang sama pada keadaan sekarang. Ingatan atau memori otak lama juga akan me”nyetroom” memori otak sekarang untuk menyimpan ingatan-ingatan baru dengan lebih baik. Jelas dengan demikian, ini upaya pencegahan demensia alias kepikunan. Sangat sederhana, tanpa obat-obat Ace Inhibitor yang teramat mahal.

Dari sebuah journal di Harvard Health Publication, Reminiscense Therapy adalah upaya therapi dengan menggunakan barang-barang, atau musik dan foto-foto dari masa lalu yang sangat familiar, untuk membangkitkan kenangan pasien dan berani membicarakan perasaannya tentang itu pada orang lain. Ini biasanya digunakan pada orang-orang yang mempunyai problem mood dan memori, atau membutuhkan pertolongan karena mengalami gangguan-gangguan sehubungan dengan penuaan (Aging).

Sejak tahun 1900, partially controlled-studies membuktikan bahwa treatment ini menghasilkan sesuatu yang hanya kecil saja tapi punya efek positif yang bermakna pada mood, perawatan diri (self-care), kemampuan berkomunikasi dan kegembiraan. Bahkan pada beberapa kasus, upaya ini meningkatkan fungsi intelektual. Wow?

Ide bahwa reminiscing dapat berefek therapeautik dikemukakan pertama kali tahun 1960. Robert Butler, seorang psikiater pakar psikogeriatri memakai itilah “life review” untuk hal ini. Ia mengemukakan, bahwa pada lansia, mereka merasa sangat berguna untuk memandang hidup mereka sebagai suatu “perspektif”. Padahal pada dekade sebelumnya, berbicara tentang hal-hal dan ingatan masa lalu dianggap “living in the past” dan oleh karenanya dipandang sebagai gangguan.

Ide yang mendasari RT sesungguhnya konsisten dengan teori perkembangan psikologi dewasa yang dikemukakan pada waktu yang sama oleh ahli lain yang tersohor, Erik Erikson. Erikson berpendapat bahwa untuk waktu terbanyak pada masa dewasa, kita dituntut untuk menemukan kreativitas dan kegiatan yang penuh makna demi untuk menghindari kebuntuan perasaan (feeling stuck). Kemudian dalam fase-fase akhir kehidupan, kita mungkin akan berusaha me-“review” kita ini telah berada dimana saja dan melakukan apa saja dan apa yang harus kita upayakan dalam harapan kita bisa merasa hidup kita ini baik, berhasil, dan bermakna positif bagi orang lain. Reminiscense Therapy, dengan menggabungkan pandangan Dr Butler “life review” dan Dr Erikson teori “psychological adult development” dapat membantu orang-orang tua mencapai “goal” itu.

Jadi, ketika mbak Enny menampilkan foto jadulnya waktu kecil sedang membatik yang mengharukan, dan mas Iwan menampilkan kover buku “Gelis Pinter Matja” yang pasti mengagetkan siapa saja yang pernah klas 1 di jaman itu, disusul gambar “Umbul” yang pasti dipunyai setiap anak lelaki di jaman itu, dan mas Wiwien.......wuaduh.....kangmas yang satu ini paling banyak memposting hal-hal kuno, mulai foto-foto gedung kuliah/praktikum MamaConga, foto2 rumahnya sendiri, foto sepeda2 dan sepeda motor antik, gambar2 iklan kuno yang aneh2 dan lucu dari surat kabar jaman doeloe, saya tahu inilah.............Reminiscense Therapy.

Oya, mbak Etty yang juga memposting tembang2 jaman kita kecil itu. Dan kita semua, anggauta grup MamaConga, berkomentar semaunya, berdasar emosi dan pengalamannya sendiri tentang foto2 itu. Dan yang mengherankan, banyak dari komentator yang masih hapal isi buku Gelis Pinter Matja itu, atau melanjutkan tembang2 kuno itu.

Ya, saya yakin semua kangmas2 dan mbakyu, saudara2 saya di MamaConga itu pasti tidak tahu, atau tidak menyadari bahwa perbuatan main2, iseng, demi kegembiraan kecil itu sesungguhnya sesuatu upaya therapy bagi lansia yang mempunyai landasan ilmiah sejak tahun 1960 oleh dua pakar dunia yang termashur itu, yaitu Reminiscence Therapy. Lha wong saya saja juga tidak akan tahu kalau tidak diundang di pelatihan penyusunan buku pedoman psikogeriatri di Bandung itu dan melihat presentasi teman saya dari RSJ Lawang, dua tahun lalu.

Saya juga yakin bahwa semua saudara saya yang memposting hal-hal kuno yang familiar bagi kita di MamaConga Fb ini hanya sekedar “main-main” demi keakraban, atau iseng-iseng lucu-lucuan, tanpa maksud “terapi-terapian” atau “pencegahan kepikunan” atau apalah. Ya mungkin juga sekedar mengetest ingatan kita sendiri, didebatkan, mungkin salah atau benar, begitu, hehehe. Ah, belum lagi nanti, MamaConga Bercinta, nah “life love review” yg memalukan, atau traumatis, atau romantis tersembunyi, atau membanggakan, yang mau diobral murah dengan diskon 80% di Doc.CC MammaConga ini. Hahaha. Tapi ketahuilah saudara2ku tercinta, itu adalah juga Reminiscense Therapy yang penting, karena itu adalah “life-love review” dari Butler dan “Psychological Adulthood Development” dari Erikson yang secara alami harus ada pada setiap manusia bila ia ingin dikatakan sehat jiwanya. Percayalah.

Soblog besar untuk bikin kupat dan kupatnya sendiri merupakan benda2 penting yg bisa mengingatkan kegembiraan hari Lebaran masa kecil tempo dulu, sebuah upaya Reminiscense Therapy ygt bagus - dok.pribadi. 


Itu belum lagi bila RT dipandang sebagai upaya stimulasi otak kanan lansia. Kita tahu otak kiri bersifat lineair, analitis, deduktif, matematis, keduniawian (materialistis). Sedang otak kanan berkarakter humoris, musik, senirupa dan sastra, emosi2, cinta dan kreativitas. Nah, RT – dan kegiatan MamaConga -bisa dianggap sebagai stimulator maupun aktivasi karakter otak kanan yang telah lama terpendam. Tapi untuk apa karakter otak kanan itu bagi lansia. Wuah, banyak. Melanglang wilayah ke tempat2 unik dan bersejarah dan menuliskannya untuk buku atau blog pribadi. Memberikan pengetahuan dalam bentuk cerita pada anak2 dan cucu kita. Untuk berdiskusi dengan teman sebaya dan masih banyak lagi.

Ketika mas Wiwien mulai memasang dan membikin kumpulan foto2 bangunan kuliah dan praktikum MamaConga dulu, saya sudah mulai berpikir untuk menulis RT ini. Tapi saya tunda2 terus karena harus mendahulukan tulisan2 lain. Baru ketika mas Iwan memasang “Gelis Pinter Matja” dan “Umbul” dan mas Wiwien masang gambar iklan2 aneh jadul itu, saya berniat harus segera menuliskannya. Anda sekalian berhak tahu bahwa kegiatan “main-main” ini sesungguhnya suatu upaya preventif dan kuratif terhadap kepikunan lansia. Atau kepikunan dengan depresi lansia. Ataupula kepikunan dengan parafrenia pada lansia.

Dan saya terpaksa memasang tulisan saya ini di Blog saya supaya teman2 yg lain, khususnya teman2 psikiater bisa membacanya. Karena teman2 psikiaterpun banyak yang belum tahu RT ini, kecuali yang pernah berkunjung ke RSJ Lawang. Berkunjung kesanapun bila tak jeli melihat program2 lansia tak bakalan melihat RT ini. Yah kecuali mbak Ratna yang sedang dolan2 ke Jepang dan India, yah barangkali nemukan RT disana dan bisa komen disini.

Saya tahu bahwa maksud saudara2ku tercinta menampilkan foto barang2 kuno disini sama sekali tak bermaksud sebagai upaya preventif dan kuratif pada kepikunan. Karena semua yakin bahwa kita semua alhamdulilah masih cukup sehat, punya kognitif dan memori yang sangat bagus dan jauh dari kepikunan. Anda semua memasang foto dan barang2 kuno semata-mata untuk main-main, mengetest ingatan kita, tebak-tebakan, demi keakraban dan kasih sayang. Tapi anda semua perlu tahu bahwa “main-main” anda ini punya nilai tinggi dalam upaya medis preventif, kuratif dan rehabilitatif pada manusia2 usia lanjut. Main-main yang punya landasan ilmiah sebagai tindakan terpeutik.
-------------------------

KEPRIBADIAN ANANKASTIK


Jatilan ngguyang jaran di Bendhung Kayangan Godean Jogjakarta 2011 - inusphotography

Ada cukup banyak orang yang datang ke praktek psikiater untuk mengkonsultasikan dirinya sendiri ataupun suaminya, kakak, anaknya bahkan paarnya yang mempunyai sifat perfeksionistik atau serba ingin sempurna total, perasaan ragu dan sangat berhati-hati sampai takut bertindak, kaku dan keras pada pendapatnya, luar biasa teliti sampai memusingkan orang lain, gampang marah dan kecewa bila sesuatu tidak berjalan seperti kemauannya, dan sering memaksakan kehendak agar orang lain melakukan sesuatu menurut caranya.          Dalam praktek lebih banyak laki-laki yang mempunyai sifat seperti ini daripada perempuan.

            
Sifat dalam artian umum, adalah karakter dalam istilah psikologi yang berarti ciri kepribadian yang dibentuk oleh prose perkembangan dan pengalaman hidup. Sedang “temperamen” lebih dipengaruhi oleh faktor genetik atau konstitusional yang terbawa sejak lahir, bersifat sederhana, tanpa motivasi, baru stabil sesudah anak berusia beberapa tahun.
            
Kepribadian adalah pola perilaku yang menetap tentang cara bagaimana seseorang bereaksi dan berkomunikasi dengan orang lain dalam lingkungannya. Bisa pula dikatakan kepribadian adalah ciri perilaku yang merupakan karakter atau ciri seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
            
Dalam menjalani kehidupannya sejk kecil, remaja, dewasa hingga lanjut usia, seeorang mempunyai kecenderungan atau kebiasaan menggunakan suatu pola yang relatif serupa dalam menyikapi masalah yang dihadapi. Cara atau metode penyelesaian itu tampak sebagai sesuatu yang terpola dan dapat ditandai sebagai ciri untuk mengenal orang tersebut.
             
Ciri atau gambaran khas kepribadian seperti kasus diatas disebut ciri kepribadian anankastik. Perfeksionisme, selalu ingin sempurna tanpa cacat dalam mengerjakan segala sesuatu, teliti dan teguh pada aturan, dalam batas tertentu tentu sangat baik dalam pekerjaan. Tapi bila berlebihan justru akan menghambat individu itu sendiri dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari karena segala sesuatu tak mesti bisa sempurna seratus persen. Individu juga bisa bentrok dengan lingkungannya karena tak semua orang bisa mengikuti dia. Jadi kenyamanan hubungan interpersonalnya sering jadi korban. Bila ini memberat dan terus menerus demikian, terjadilah apa yang disebut dalam PPDGJ-III (ICDX) sebagai gangguan kepribadian anankastik.
             
Bila sudah terjadi gangguan, atau “disorder”, berarti sdah terjadi “kekakuan adaptasi”, atau maladaptif, tidak fleksibel dan ada suatu “distress” atau penderitaan subyektif dan disfungsi yang bermakna. Individu itu mengalami suatu penderitaan subyektif karena karakternya sendiri yang seperti diatas ditambah ketidakmampuannya lagi menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Akibatnya ia malah jadi tidak berfungsi dan pindah-pindah tempat pekerjaan. Ini agak mirip dengan gangguan kepribadian antisosial atau paranoid yang akhirnya orang itu terpaksa harus bekerja sendirian.
            
Kriteria diagnostik gangguan kepribadian anankastik menurut pedoman PPDGJ-III adalah: (1) perasaan ragu dan hati-hati yang berlebihan; (2) keterpakuan pada rincian, peraturan, daftar, perintah, organisasi atau jadwal; (3) perfeksionisme yang menghambat penyelesaian tugas; (4) ketelitian yang berlebihan, terlalu hati-hati, dan kecenderungan yang tidak semestinya untuk meniptakan kesenangan dan hubungan interpersonal; (5) keterpakuan dan ketertarikan yang berlebihan pada kebiasaan sosial; (6) kaku dan keras kepala; (pemaksaan secara tidak masuk akal agar orang lain melakukan sesuatu menurut caranya, atau keengganan yang tak masuk akal untuk mengizinkan orang lain melakukan sesuatu; dan (7) mencampuradukkan pikiran atau dorongan yang bersifat memaksa atau tidak disukai.
            
Pedoman diagnostik ini memasukkan “gangguan kepribadian obsesif-kompulsif” dalam gangguan kepribadian anankastik ini. Atau nama lain dari gangguan kepribadian anankastik adalah gangguan kepribadian itu. Dalam praktek sehari-hari yang sering datang ke praktek psikiater sendiri atau diantar keluarganya adalah gangguan obsesif-kompulsif yang merupakan bagian dari gangguan cemas. Dalam divisi gangguan kepribadian, lebih banyak dipakai “anankastik” daripada istilah “obsesif kompulsif”.
            
Dalam kamar praktek, psikiater akan menjalankan psikoterapi untuk gangguan ini, yang modelnya bisa suportif-ekspresif, kognitif teraoi atau bahkan psikoanalitik bila perlu. Selain itu bisa juga terapi kognitif-periaku (CBT) dijalankan. Obat anti cemas dan antidepresan bisa diberikan untuk mengurangi penderitaan subyektifnya yang terwujud dalam kecemasan terus menerus dan depresi. Terapi obat ini hanya membantu sementara karena lebih kausatif bila individu bisa mengatasinya sendiri.
             
Tak ada cara lain. Individu harus merubah “mindset”, paradigma, atau pola pikirnya dalam mengerjakan dan memandang sesuatu. Ia harus menyadari bahwa hidup ini penuh ketidaksempurnaan, penuh noda dan kotoran. Ia harus bisa menerima dan menikmati ketidaksempurnaan itu bersama orang-orang lain. Ia boleh berusaha maksimal tapi harus bisa menerima bila kesempurnaan total tidak tercapai. Ia harus bisa berempati bahwa orang-orang lain disekitarnya mempunyai hak untuk mengerjakan sesuatu dengan cara dan kemampuan mereka sendiri. Ia harus bisa bekerja sama, bantu membantu dan bertoleransi dengan mereka itu. Dan bersama-sama menikmati hasil kerja mereka.
            
Ia tidak boleh keras kepala dan memaksakan kehendaknya sendiri pada mereka. Bila dalam beberapa minggu saja ia bisa mempraktekan hal itu dan merasakan kenyamanan dan kebahagiaan dalam bekerja dengan orang-orang lain disekitarnya, ia pasti akan membuang jauh-jauh semua karakter perfeksionisnya, keras kepala, kekakuan pada aturan, dan pemaksaan kehendak pada orang lain. Ya, meski tak ada yang lebih sulit dari merubah perilaku sendiri yang telah menetap, tapi “reward” kenyamanan, penghargaan orang dan kebahagiaan yang dirasakan akan menjadi pendorong kuat perubahan itu terjadi.****
--------------------------