DIMENSI SPIRITUAL SALING MEMAAFKAN DI HARI LEBARAN



Minal Aidin wal faidzin, maafkan lahir dan batin”, inilah penggalan lagu Lebaran dari Oslan Husein yang termasyhur dan legendaris yang diputar radio-radio dan TV setiap kali menjelang Lebaran seperti hari-hari ini. Bagi saya dan teman-teman saya sejak kecil, menyambut Lebaran tanpa terdengar lagu ini akan “cemplang” rasanya. Seakan terdengarnya lagu ini disela takbir berulang-ulang dipagi Lebaran menjadi syarat syahnya hari yang Fitri itu. 

Bang Oslan tentu tak pernah membayangkan lagunya yang bernada kocak itu akan disukai dan diterima seluruh lapisan masyarakat sebagai pelengkap keagungan Lebaran. Dan membuat namanya terpatri abadi sepanjang masa karena Idul Fitri pun erjadi tiap tahun sepanjang masa.
             
Beberapa hari lalu saya mengikuti shalat Tarawih di masjid Baiturrachman kampung saya Popongan Sinduadi. Sang ustadz dalam kultumnya menjelaskan arti “Minal Aidin Wal Faidzin” yang mengejutkan hati saya. Monal Aidin artinya Ya Allah masukkanlah saya dalam kelompok orang-orang yang kembali”. Artinya kembali kepada fitrah yang suci setelah menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Dan Wal Faidzin artinya “Ya Allah masukkanlah saya ke dalam kelompok orang-orang yang sukses”. Artinya orang-orang yang telah sukses menjalankan ibadah puasa yang berarti bebas dari siksa api neraka. 

Alangkah hebatnya. Menjalankan ibadah puasa sebulan lamanya sembari harus tetap bekerja penuh seperti biasa tentu lumayan beratnya. Dan bila sukses Tuhan menjanjikan bebas dari api neraka, Jadi semuanya itu tak ada kaitannya dengan “sory menyori” atau saling memaafkan keluarga atau handai taulan di hari Lebaran. Padahal sejak kecil, gara-gara lagu Oslan Husein, saya mengartikan Minal Aidin Wal Faidzin sebagai maafkanlah saya lahir dan batin atau maafkanlah saya dan andapun akan saya maafkan pula.
            
Saya bertanya pada beberapa ulama, apakah ada perintah Tuhan atau ayat dalam Al Quran yang menyebutkan harus saling memaafkan di hari Iduk Fitri. Jawabnya tidak ada. Perintah untuk saling memaafkan kesalahan jelas ada tapi tidak harus di hari Iduk Fitri. Jdi acara saling memaafkan atau alal bihalal di hari Lebaran itu merupakan tradisi khas bangsa Indonesia. 

Seorang ulama tua memberitahu saya bahwa tradisi itu pertama kali dikerjakan Pangeran Samber Nyawa yang kemudian ditiru oleh Bung Karno. Ada nuansa politik dalam tindakan ini. Karena Bung Karno memaafkan lawan-lawan politiknya ini diberitakan media massa yang berarti menunjukkan kebesaran hatinya.
            
Mungkin saat itu Bung Karno tidak sadar bahwa tindakannya akan ditiru seluruh rakyat Indonesia, saling memaafkan dengan tulus tanpa tujuan politis,semata-mata karena ajaran agama dan perintah Tuhan. Meski tak harus di hari yang Fitri. Mungkin Bung Karno juga tak menyadari bahwa tindakannya yang ditiru menjadi menjadi tradisi bangsa Indonesia itu mempunyai dimensi spiritul yang bisa meningkatkan derajat kesehatan jiwa bangsanya.
            
Undang Undang Kesehatan RI Nomor 36 Tahun 2009 telah mendefinisikan kesehatan (jiwa) dengan pendekatan yang holistik dan lengkap : “Kesehatan adalah keadaan sejahtera fisik, mental, spiritual dan sosial yang memungkinkan seseorang menjadi produktif dan memiliki nilai rkonomis”. Disini spiritual telah menjadi faktor penentu dai kesehatan jiwa. Tapi apakah spiritual itu? Spiritualitas tidak sama dengan relijiusitas. Kalangan psikiatri mengartikan spiritual sebagai “pengalaman batin yang transendental”. Transenden berarti keatas mendekati atau menyatu dengan Chaliknya. Spiritual tinggi tidak bisa dibuktikan mempunyai moralitas yang tinggi pula. Setidak-tidaknya belum bisa dibuktikan spiritual berkorelasi positif dengan moralitas.
 Bersama istriku Madam Suci dan anakku ragil Risang Wisnumurti di dekat patung tiruan karya Salvador Dali di depan Kantor Pos Yogyakarta sehabis Sholat Idul Fitri, Kamis 8 Agustus 2013 - dok.pribadi -inusphotography.
         
Spiritualitas juga tidak berkorelasi positif dengan relijiusitas. Banyak orang yang taat dan rajin menjalankan ritual ibadah agama, dngan simbol-simbol keagamaan yang menyolok, ternyata mempunyai moralitas yang buruk dan dimensi spiritual rendah. Sebaliknya orang-orang yang tidak menunjukkan warna agama dan ritual kegiatan ibadahnya diam-diam justru mempunyai spiritual yang tinggi. Spiritual tinggi bisa dicapai dengan aktif menjalankan ritual ibadah dengan penghayatan sesuai tuntunan agama-agama formal, tapi bisa usaha mendekatkan diri bahkan “menyatu” dengan Tuhan itu dicapai dengan cara dan upaya sendiri tanpa tuntunan agama apapun. 

Seperti orang Jawa misalnya, ajaran dan suri tauladan dari leluhur menyebabkan banyak orang Jawa melakukan “laku” atau “tapabrata” untuk mendekatkan diri pada Tuhannya. Hal ini ditunjukkan dalam riset dan thesis doktor Zutmoulder, orang Belanda peneliti falsafah hidup Jawa, yang berjudul “Manunggaling Kawula Gusti” yang hanya setebal 97 halaman tapi bisa “dijembreng” menjadi ratusan halaman menjadi buku setebal bantal. “Curiga manjing wrangka” dan “wrangka manjing curiga”. Zutmoulder membuktikan bahwa orang Jawa menyembah, mendekati, dan menyatukan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa dengan cara dan upayanya sendiri. Thesis itu mendapat penilaian Suma Cumlaude.
             
Tapi bila telah mencapai spiritualitas tinggi, harus berperilaku bagaimana? Dimensi spiritual mempunyai unsur vertikal (ritual ibadah menyembah Tuhan), tapi juga unsur horizontal ( kasih sayang pada sesama hidup). Dimensi spiritual mempunyai konteks sosial, sesuai dengan fitrah manusia sebagai insan sosial. Orang tak bisa beranggapan dirinya mempunyai spiritualitas tinggi bila dia hidup sendirian ditengah padang pasir luas tanpa tepi. Manusia harus hidup bersama “the other”, orang lain. Kepekaan terhadap penderitaan orang lain, empati pada si miskin, siap menolong tanpa pamrih, penuh kasih sayang pada sesama hidup, perilaku positif dan emosi-emosi positif lainnya. itulah implementasi horizontal dari dimensi spiritual.
            
Bagi umat Islam, sifat-sifat, karakter dan perilaku spiritual tinggi sudah ada contohnya yang pasti. Yaitu Asmaul Husna, 99 sifat-sifat Tuhan sendiri. Orang dengan spiritual tinggi tentunya harus mempunyai, setidak-tidaknya mendekati sifat-sifat Asmaul Husna itu. Diantaranya adalah “Maha Pengasih lagi Penyayang”, “Maha Pemurah”, dan “Maha Pengampun”. Dengan memberi maaf berarti mengampuni orang lain dihari Fitri, kembali saling menyayangi, inilah dimensi spiritual Idul Fitri.
            
Banyak orang yang mnjadi stres atau mengalami tekanan batin karena berbuat kesalahan dan tidak bisa dimaafkan. Mereka menunggu hari Lebaran. Sebaliknya, banyak orang yang stres karena marah, benci dan dendam pada orang lain, tidak bisa dan tidak mampu memaafkan. Mereka juga menunggu hari Lebaran. Dan ketika hari yang Fitri itu tiba, transaksi saling memaafkanpun  terjadi dengan tulus. Hilanglah segala stres dan tekanan mental dari kedua pihak. Semuanya kembali saling menyayangi. Dimensi spiritual telah meningkatkan kualitas kesehatan jiwa mereka. Bung Karno akan tersenyum puas dan bangga andai tahu, bahwa tradisi alal bihalal yang dimulainya dulu, bisa meningkatkan derajat kesehatan jiwa bangsanya sekarang.****