KEPRIBADIAN ANANKASTIK


Jatilan ngguyang jaran di Bendhung Kayangan Godean Jogjakarta 2011 - inusphotography

Ada cukup banyak orang yang datang ke praktek psikiater untuk mengkonsultasikan dirinya sendiri ataupun suaminya, kakak, anaknya bahkan paarnya yang mempunyai sifat perfeksionistik atau serba ingin sempurna total, perasaan ragu dan sangat berhati-hati sampai takut bertindak, kaku dan keras pada pendapatnya, luar biasa teliti sampai memusingkan orang lain, gampang marah dan kecewa bila sesuatu tidak berjalan seperti kemauannya, dan sering memaksakan kehendak agar orang lain melakukan sesuatu menurut caranya.          Dalam praktek lebih banyak laki-laki yang mempunyai sifat seperti ini daripada perempuan.

            
Sifat dalam artian umum, adalah karakter dalam istilah psikologi yang berarti ciri kepribadian yang dibentuk oleh prose perkembangan dan pengalaman hidup. Sedang “temperamen” lebih dipengaruhi oleh faktor genetik atau konstitusional yang terbawa sejak lahir, bersifat sederhana, tanpa motivasi, baru stabil sesudah anak berusia beberapa tahun.
            
Kepribadian adalah pola perilaku yang menetap tentang cara bagaimana seseorang bereaksi dan berkomunikasi dengan orang lain dalam lingkungannya. Bisa pula dikatakan kepribadian adalah ciri perilaku yang merupakan karakter atau ciri seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
            
Dalam menjalani kehidupannya sejk kecil, remaja, dewasa hingga lanjut usia, seeorang mempunyai kecenderungan atau kebiasaan menggunakan suatu pola yang relatif serupa dalam menyikapi masalah yang dihadapi. Cara atau metode penyelesaian itu tampak sebagai sesuatu yang terpola dan dapat ditandai sebagai ciri untuk mengenal orang tersebut.
             
Ciri atau gambaran khas kepribadian seperti kasus diatas disebut ciri kepribadian anankastik. Perfeksionisme, selalu ingin sempurna tanpa cacat dalam mengerjakan segala sesuatu, teliti dan teguh pada aturan, dalam batas tertentu tentu sangat baik dalam pekerjaan. Tapi bila berlebihan justru akan menghambat individu itu sendiri dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari karena segala sesuatu tak mesti bisa sempurna seratus persen. Individu juga bisa bentrok dengan lingkungannya karena tak semua orang bisa mengikuti dia. Jadi kenyamanan hubungan interpersonalnya sering jadi korban. Bila ini memberat dan terus menerus demikian, terjadilah apa yang disebut dalam PPDGJ-III (ICDX) sebagai gangguan kepribadian anankastik.
             
Bila sudah terjadi gangguan, atau “disorder”, berarti sdah terjadi “kekakuan adaptasi”, atau maladaptif, tidak fleksibel dan ada suatu “distress” atau penderitaan subyektif dan disfungsi yang bermakna. Individu itu mengalami suatu penderitaan subyektif karena karakternya sendiri yang seperti diatas ditambah ketidakmampuannya lagi menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Akibatnya ia malah jadi tidak berfungsi dan pindah-pindah tempat pekerjaan. Ini agak mirip dengan gangguan kepribadian antisosial atau paranoid yang akhirnya orang itu terpaksa harus bekerja sendirian.
            
Kriteria diagnostik gangguan kepribadian anankastik menurut pedoman PPDGJ-III adalah: (1) perasaan ragu dan hati-hati yang berlebihan; (2) keterpakuan pada rincian, peraturan, daftar, perintah, organisasi atau jadwal; (3) perfeksionisme yang menghambat penyelesaian tugas; (4) ketelitian yang berlebihan, terlalu hati-hati, dan kecenderungan yang tidak semestinya untuk meniptakan kesenangan dan hubungan interpersonal; (5) keterpakuan dan ketertarikan yang berlebihan pada kebiasaan sosial; (6) kaku dan keras kepala; (pemaksaan secara tidak masuk akal agar orang lain melakukan sesuatu menurut caranya, atau keengganan yang tak masuk akal untuk mengizinkan orang lain melakukan sesuatu; dan (7) mencampuradukkan pikiran atau dorongan yang bersifat memaksa atau tidak disukai.
            
Pedoman diagnostik ini memasukkan “gangguan kepribadian obsesif-kompulsif” dalam gangguan kepribadian anankastik ini. Atau nama lain dari gangguan kepribadian anankastik adalah gangguan kepribadian itu. Dalam praktek sehari-hari yang sering datang ke praktek psikiater sendiri atau diantar keluarganya adalah gangguan obsesif-kompulsif yang merupakan bagian dari gangguan cemas. Dalam divisi gangguan kepribadian, lebih banyak dipakai “anankastik” daripada istilah “obsesif kompulsif”.
            
Dalam kamar praktek, psikiater akan menjalankan psikoterapi untuk gangguan ini, yang modelnya bisa suportif-ekspresif, kognitif teraoi atau bahkan psikoanalitik bila perlu. Selain itu bisa juga terapi kognitif-periaku (CBT) dijalankan. Obat anti cemas dan antidepresan bisa diberikan untuk mengurangi penderitaan subyektifnya yang terwujud dalam kecemasan terus menerus dan depresi. Terapi obat ini hanya membantu sementara karena lebih kausatif bila individu bisa mengatasinya sendiri.
             
Tak ada cara lain. Individu harus merubah “mindset”, paradigma, atau pola pikirnya dalam mengerjakan dan memandang sesuatu. Ia harus menyadari bahwa hidup ini penuh ketidaksempurnaan, penuh noda dan kotoran. Ia harus bisa menerima dan menikmati ketidaksempurnaan itu bersama orang-orang lain. Ia boleh berusaha maksimal tapi harus bisa menerima bila kesempurnaan total tidak tercapai. Ia harus bisa berempati bahwa orang-orang lain disekitarnya mempunyai hak untuk mengerjakan sesuatu dengan cara dan kemampuan mereka sendiri. Ia harus bisa bekerja sama, bantu membantu dan bertoleransi dengan mereka itu. Dan bersama-sama menikmati hasil kerja mereka.
            
Ia tidak boleh keras kepala dan memaksakan kehendaknya sendiri pada mereka. Bila dalam beberapa minggu saja ia bisa mempraktekan hal itu dan merasakan kenyamanan dan kebahagiaan dalam bekerja dengan orang-orang lain disekitarnya, ia pasti akan membuang jauh-jauh semua karakter perfeksionisnya, keras kepala, kekakuan pada aturan, dan pemaksaan kehendak pada orang lain. Ya, meski tak ada yang lebih sulit dari merubah perilaku sendiri yang telah menetap, tapi “reward” kenyamanan, penghargaan orang dan kebahagiaan yang dirasakan akan menjadi pendorong kuat perubahan itu terjadi.****
--------------------------