Saudara Ar, seorang priya 38 tahun, sarjana seni yang membuat biro iklan dengan 3 temannya, menulis ke rubrik kita ini. Semula usahanya berjalan tersendat, tak terlalu banyak pesanan. Tapi kemudian mendadak meningkat. Ini menyebabkan jam kerja tak beraturan. Kadang sampai larut malam Ar tak bisa pulang. Ia kehilangan banyak waktu dengan keluarganya. Belum lagi kalau temannya sakit atau berhalangan. Ia harus menggantikan pekeerjaan temannya itu. Hidupnya jadi kalang kabut. Ia lalu sering mengkonsumsi alkohol.
Sedang Jhn, seorang mahasiswa tingkat akhir, menulis tentang kesulitannya membagi waktu. Ia kuliah sambil bekerja – atas kemauannya sendiri untuk membantu membiayai sekolah adiknya - di rumah makan yang makin lama semakin laris. Ia terancam untuk dikeluarkan dari pekerjaan yang gajinya lumayan itu (sebagai juru masak), bila terus-terusan minta ijin untuk kuliah. Ia menghadapi problem dengan waktu kerjanya. Dari seorang temannya, ia mendapat ganja dan sabu rutin.
***************
Hal yang membuat hidup menjadi sulit adaalah karena proses untuk menghadapi berbagai permasalahan dianggap sebagai sesuatu yang menyakitkan. Berbagai masalah – tergantung pada karakternya – meniombulkan frustasi, kesedihan, kedukaan, kemarahan atau depresi. Ini adalah perasaan yang tidak menguntungkan dan tidak menyenangkan.
Disiplin adalah peralatan dasar yang kita perlukan untuk mengatasi permasahan hidup. Tanpa disiplin kita tidak dapat memecahkan dan menyelesaikan apapun. Kita baru bisa memecahkan semua permasalahan ketika kita mampu berdisiplin secara total.
Scott Peck, seorang psikiater peneliti di Amerika, menulis ada empat jenis disiplin, yaitu : (1) penundaan kepuasan; (2) penerimaan tanggung jawab; (3) dedikasi terhadap kebenaran; dan (4) keseimbangan.
Kita tidak dapat menyelesaikan permasalahan hidup kecuali dengan memecahkannya. Mudah untuk mengatakan tapi sulit untuk menerapkannya. Kita harus terlebih dahulu menerima tanggung jawab terhadap suatu masalah sebelum kita dapat memecahkannya.
Kita tidak bisa memecahkan masalah dengan hanya berkata : “Ini bukan masalah saya”. Kita tidak bisa memecahkan masalah dengan berharap orang lain yang akan memecahkannya bagi kita. Saya dapat memevahkan masalah hanya ketiksa saya berkata, “Ini adalah masalah saya dan tergantung saya untuk memecahkannya”. Tetapi sangat banyak orang yang berusaha menghindari rasa sakit dari permasalahan mereka dengan berkata pada dirinya sendiri, “Masalah yang menimpa saya ini disebabkan oleh orang lain atau oleh situasi sosial di lingkungan saya yang ada di luar kontrol saya, maka terserah mereka di lingkungan yang menyelesaikannya”. Hampir semua pecandu yang datang berobat pada saya adalah orang-orang seperti ini.
Mereka selalu mengatakan bahwa teman-temannyalah, lingkungannya, yang menyebabkan mereka jadi pecandu. Mereka tak bisa menahan “rasa sakit” karena harus memikul tanggung jawabnya sendiri untuk menyelesaikan masalahnya dan memakai heroin, sabu, ganja atau alkohol.
Hingga kini banyak dari kita dari waktu ke waktu berusaha untuk menghindari – dengan cara yang sangat tidak kentara – rasa sakit menerima tanggung jawab untuk masalah kita sendiri. Saudara Ar dan Jhn tak kan bisa menyelesaikan persoalannya - yang berkaitan dengan waktu kerja - dengan memakai zat-zat adiktif itu tiap hari. Ia seharusnya mengatakan, “Waktu saya adalah tanggun jawab saya. Sayalah yang memutuskan bagaimana saya ingin memanfaatkan dan mengatur waktu saya”.
Perangkat lain dari disiplin atau teknik untuk mengatasi rasa sakit pemecahan masalah – yang harus terus menerus dipakai bila kita ingin jiwa kita berkeembang dengan sehat – adalah dedikasi pada kebenaran. Hal ini jelas karena kebenaran adalah realitas yang “tersembunyi”.
Semakin jelas kita melihat realitas dunia, semakin kita mampu mengatasi dunia. Semakin tidak jelas kita melihat realitas dunia – pikiran kita dipenuhi oleh ketidakjujuran, kesalahan persepsi, dan ilusi – semakin tidak mampu kita menentukan rangkaian tindakan yang tepat dan membuat keputusan bijak.
Pandangan kita tentang realitas seperti peta yang digunakan untuk menegosiasikan wilyah hidup kita. Bila peta itu tetap dan akurat, kita biasanya akan mengetahui posisi kita. Dan bila kita telah memutuskan arah yang akan kita tuju, kita tahu cara untuk mencapai posisi tersebut. Bila peta salah dan tidak akurat, kita biasanya akan tersesat.
Meski hal ini nampak jelas, tapi ini merupakan sesuatu yang oleh sebagian orang ddiabaikan. Mereka mengabaikan karena rute menuju realitas tidaklah mudah. Sebab kita tidak lahir dengan peta. Kita harus membuatnya sendiri dan melakukan usaha yang diperlukan untuk mewujudkannya. Semakin banyak usaha yang kita buat untuk menyadari dan memahami realitas, peta kita akan semakin besar dan akurat.
Akan tetapi, banyak orang yang tidak mau melakukan usaha ini. Bebeerapa orang berhenti melakukannya di akhir masa remajanya. Peta mereka kecil dan tidak jelas, pandangan mereka tentang dunia sempit dan keliru. Di akhir usia pertengahan banyak orang menyerah dan tidak mau berusaha. Mereka merasa yakin bahwa peta mereka lengkap dan pandangan mereka benar – bahkan suci – dan mereka tidak lagi tertarik dengan informasi baru. Hanya sedikit orang yang terlatih dan beruntung yang terus meneliti misteri realitas hingga mati. Mereka bahkan selalu memperluas, menyempurnakan, dan mendeskripsikan ulang pemahaman tentang dunia dan hal-hal yang benar.
Masalah terbesar dari pembuatan peta bukan karena kita harus memulainya dari sketsa, tapi bila kita menginginkan peta kita akurat, kita harus terus menerus menyempurnakannya. Dunia selalu berubah. Bencana lahar datang dan bencana pergi. Budaya datang dan budaya pergi atau terkubur. Teknologi baru datang silih berganti. Bahkan yang lebih dramatis, titik tempat kita melihat dunia, terus dan cukup cepat berubah.
---------------------------