MENUNDA PENYESALAN DAN KEKECEWAAN



Ia seorang gadis siswi SMA Negri favorit di Magelang, usia 17 tahun, ayah sudah meninggal dan ia diasuh ibunya yang tidak bekerja. Gadis itu, sebuta saja Tin, sesungguhnya anak yang tekun belajar dan berprestasi tinggi di klas I dan II. Tapi di klas III, ia menunjukkan perubahan perilaku. Ia nampak murung, kadang tertawa-tawa sendiri, bicara tak nyambung, kadang sedikit kacau, dan yang pokok tidak bisa fokus atau konsentrasi pada pelajaran akhir di klas III. Ia menjadi pembicaraan para gurunya yang khawatir dengan kondisinya. Ia pernah dibawa ke psikolog, tapi psikolog menganjurkan ia dibawa langsung ke psikiater saja. Ia diantar seorang ibu gurunya ke poli psikiatri RSJ tempat saya bekerja dan kebetulan saya lagi tugas di poli. Anak itu bukannya murung, diam atau takut tapi malah tertawa cengingisan di depan saya.

Dalam wawancara pemeriksaan saya, mulailah anak itu bersikap serius, agak jengkel, sedih dan penuh penyesalan. Ia merasa mendapat tekanan berat dari sekolah untuk mencapai ranking tinggi. Setiap hari mendapat PR banyak, harus mengikuti pelajaran tambahan (les), ulangan-ulangan dan latihan-latihan soal yang banyak, sehingga ia tak punya waktu untuk rekreasi, dolan-dolan dengan teman-temannya sekolah. Ia menjauhi teman-temannya yang mengajak main-main. Akibatnya selama klas I dan II ia juga dijauhi, tak disukai teman-temannya, sering diejek sebagai pemburu ranking, dan tak punya kelompok bergaul. Ia hidup sendirian, hanya belajar dan belajar, tak ada waktu untuk dolan-dolan atau bermain ke rumah teman. Ia merasa kehilangan “masa-masa indah di SMA”, atau masa-masanya di SMA sangat buruk.Dan yang lebih parah lagi, dua orang temannya cowok yang cukup dekat dengannya meninggalkannya pula karena ia tak mau diajak dolan-dolan.

Tin naik dari klas II ke klas III dengan nilai baik, rangking satu. Tapi ketika masuk di klas III ia terganggu dengan dengan pikiran dan kenangan penyesalan akan masa-masa klas I dan II nya yang jelek. Tidak disukai teman, dijauhi, tidak dihargai, tidak diterima, dianggap kutu buku, dan bahkan ditinggalkan teman-teman cowok yang semula dekat dengannya sejak klas I. Meski pandainya kayak apa, tak ada yang lebih menyakitkan daripada tidak bisa diterima dan disukai teman-teman di lingkungannya bukan? Pikiran ini bagai badai yang memporakporandakan konsentrasinya menerima pelajaran di klas III. Bayangan tentang “masa indah di SMA” yang hilang membikin Tin sering termenung di kelas, melamun, murung, kadang tertawa yang tidak releva, bengong, dan bila ditanya tidak nyambung. Ibu gurunya bilang, Tin bahkan sudah dua kali pergi ke Parangtritis sendirian hanya untuk melamun melihat ombak di tepi pantai.

Desa Kepuharjo Sleman Jogyakarta yang hilang tertutup lahar panas Merapi 2010 - dok.pribadi


Dalam wawancara mendalam ini, sembari melihat ekspresi wajah Tin, saya bisa menegakkan diagnosis dalam hati. Gadis SMA itu mengalami apa yang disebut Gangguan Campuran Kecemasan dan Depresi. Kriteria diagnostik untuk gangguan ini adalah : (1) terdapat gejala kecemasan maupun depresi, dimana masing-masing tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat untuk menegakkan diagnosis tersendiri. Untuk kecemasan, beberapa gejala otonomik harus ditemukan walaupun tidak terus menerus, disamping rasa cemas dan khawatir berlebihan; (2) bila ditemukan kecemasan berat disertai depresi yang lebih ringan, maka harus dipertimbangkan kategori gangguan kecemasan lainnya atau gangguan kecemasan fobik; (3) bila diemukan sindrom depresi dan kecemasan yang cukup berat untuk menegakkan masing-masing diagnosis, maka kedua diagnosis tersebut harus dikemukakan, dan diagnosis gangguan campuran tidak dapat digunakan. Jika karena sesuatu hal hanya dapat dikemukakan satu diagnosis maka gangguan maka gangguan depresif harus diutamakan.

Pada kasus Tin ini, stressor kehidupan yang jelas, seperti kematian orangtua, putus cinta, prestasi studi hancur, kehilangan pekerjaan, tidaklah ada. Ia naik ke kelas III dengan rangking tertinggi. Hanya ingatan dan pikirannya tentang masa lalu (klas I dan II) yang buruk, tidak disukai dan diterima teman-teman, danggap egois hanya berburu rangking, danmerasa  ditinggalkan teman-teman cowoknya yang menyebabkan penyesalan dan kesedihan yang menimbulkan depresi taraf sedang. Jadi yang primer pada Tin adalah depresi, yang kemudian membankitkan kecemasannya karena ia tak bisa fokus pada pelajaran-pelajaran klas III dan merasa tidak mampu karena pikirannya terpecah pada imajinasi penyesalan dan “kegagalan” pergaulannya di masa lalu.

Berdasar pengalaman praktek, bila saya anjurkan Tin untuk menyisihkan, atau menyingkirkan, atau membuang pikiran penyesalan yang menyedihkan dan merugikan itu, pada kasus depresi dirinya akan melawan dan semakin akan memegang kuat stressor penyesalan itu. Penderita depresi selalu akan memegang kuat-kuat, meski taksadar, stressor penyebab depresinya dan menolak pertolongan siapapun. Penderita depresi selalu ingin “menikmati” kesedihan depresinya, meski tampak menyiksa diri, mis=alnya dengan melamun di pantai dan ombak Parangtritis. Lamunan itu akan berubah jadi imajinasi indah dan ia taksadar akan berjalan masuk ke tengah ombak.

Maka satu-satunya yang bisa saya anjurkan adalah “menunda” penyesalan dan kesedihan itu. Penyesalan dimasukkan album kenangan dan ditutup rapat. Kemudian ia harus berkonsentrasi penuh dan belajar sekuat-kuatnya di klas III untuk persiapan Ujian Akhir dan Ujian Nasional. Bila kelak ujian telah selesai dan hasilnya sukses – kami yakin demikian karena ia ranking satu di Klas I dan II – Tin boleh membuka album kenangan dan menikmati penyesalan dan kesedihannya kembali. Prakteknya nanti, bila ia telah sukses Ujian Nasional, ia akan tertantang untuk menghadapi tes masuk perguruan tinggi. Fakultas Kedokteran. Saya anjurkan ia berimajinasi menjadi mahasiswa kedokteran yang cerdas, supel, disukai teman-teman mahasiswanya bahkan dosen-dosennya. Ia tak kan sempat lagi membuka album penyesalan dan kesedihannya dan andai sempatpun, tak akan ada lagi artinya dibanding masa-masa mahasiswa yang penuh semangat, idealisme dan kegembiraan bertahun-tahun.

Tapi Tin tak boleh kejam terhadap otaknya sendiri – itu self-fasistis (fasis = Nazi ) namanya. Otak adalah organ tubuh seberat 1,5kg yang paling mulia. Harus diberi istirahat dan rabuk. Setiap hari Tin harus baca buku novel yang menarik, nonton film TV, 2 jam lamanya. Jam-jam lainnya untuk belajar. Seminggu dua kali ia harus keluar dengan teman-teman putri atau saudaranya untuk jalan-jalan, ke toko buku, nonton film, atau makan di warung kaum muda. Bila sudah ngantuk banget harus tidur dan bangun dini hari untuk belajar lagi. Dengan demikian otak akan selalu segar untuk mencerna segala materi pelajaran.****