Antara Kebutuhan Emosi dan Seks


Antara Kebutuhan Emosi dan Seks


Konsultasi Kesehatan Jiwa.
Pengasuh dr. INU WICAKSANA, Sp.KJ, MMR


SAYA seorang wanita yang telah berpisah dengan suami, bekerja di kantor yang mengurusi turisme, punya anak laki-laki satu. Saya sering berdebat dengan sahabat saya (wanita dan sarjana), tentang apa sebenarnya yang menjadi kebutuhan seorang wanita dari pria pasangannya. Saya ingin mendapatkan penjelasan, sebab menurut saya kebutuhan itu meliputi :
I. Kebutuhan psikis, diantaranya kebutuhan emosi cinta,curahan kasih sayang, perhatian, perlindungan, rasa aman dan sebagainya.
II. Kebutuhan biologis yang menurut saya justru kebutuhan psikis pada kebanyakan wanita lebih dominan dari pada keutuhan ”sex”nya. Tapi menurut sahabat saya tadi, pendapat saya adalah pendapat munafik yang sering dilakukan wanita, yang hanya berputar-putar, sedang sebenarnya yang dibutuhkan adalah ”sex”. Dia tidak mengakui adanya kebutuhan psikis uang letaknya berbeda dengan dengan kebutuhan biologis. Misalnya sewaktu kami berdua melihat masalah seorang istri (setengah baya) yang disiksa setengah mati(fisik dan psikis) sejak mudanya oleh suaminya, tapi si istri selalu ”nrima” dan tidak pernah minta cerai atau protes yang menurut pendapat sahabat saya hal itu disebabkan karena si istri membutuhkan ”seks” dan suami pandai memuaskannya.
Sedang menurut saya, adalah karena 1. alasan ekonomi, demi anak-anak, pola pikir yang dibentuk oleh kebudayaan setempat misal tidak pantas bercerai, perempuan harus ”nrima” dan sebagainya.2. terjadinya kerusakan jiwa pada si istri, yang semakin disiksa semakin hilang rasa percaya dirinya, semakin lemah dan tergantung pada si penyiksa; 3. menjadi masochist setelah penyiksa bertahun-yahun atau memang pada dasarnya seorang masochist.
Demikianlah dok, saya mohon pendapat dokter bagaimana ?
TW di Yogyakarta.
Saudari TW yang baik di Yogyakarta,
Memang sesungguhnya kebutuhan-kebutuhan psikis dan biologis terhadap pria pasangan itu sulit dipisahkan sehingga sering disebut kebutuhan ”Psikoseksual” yang menurut konsep ”pan-seksuaisme” Freud, mendasari hampir semua perilaku dan tindakan manusia, kata bapak psikoanalisa itu, bukan hanya sebatas hubungan kelamin (coitus) saja, tapi semua dorongan insting yang memenuhi ”prinsip kenikatan’ (pleasure principle) yang dimulai sejak perkembangan anak terhadap kenikmatan oral (mulut), anal (anus), phalik atau tonjolan –tonjolan tubuh yang berawal dari tubuh sendiri yang kemudian di proyeksikan ke tubuh orang lain (lawan jenisnya). Pada laki-laki kebutuhan atau dorongan seksual pada umumnya bersifat rata atau menetap, sampai tua. Sehingga dalam hal mendekati ataupun percintaan dengan wanita, penampilan dan daya seksual (sex-appeal) hampir selalu memikat terlebih dahulu. Maka wanita cantik dan seksi selalu didekati banyak lelaki dibanding wanita pintar dan berkepribadian tapi tidak cantik dan seksi.
Sedang pada wanita kebutuhan dan kehidupan seksual cenderung bergelombang ( fluktuatif) dan terbatas (karena menopause), naik turun tidak tetap dan setelah me-nopause cenderung menurun. Pada saat-saat menurun itulah ( dan lebih banyak turunnya, misalnya sehabis melahirkan, pengaruh hormonal) kebutuhan psikoseksual lebih didominasi oleh kebutuhan akan kasih sayang , rasa aman dan sebagainya. Kebutuhan psikoaseksual pada dewasa merupakan kelanjutan masa anak, seperti penelitian psikiatri di Swedia pada anak prasekolah yang mendapatkan kebutuhan –kebutuhan terbanyak yang sama kadar-nya, yaitu perhatian, kasih sayang, rasa aman, aktualisasi diri, berbicara dan di dengar-kan pembicaraannya, rabaan atau belaian (tendensi seksual). Jadi memang benar pendapat anda, pada kebanyakan wa-nita, kebutuhan untuk bisa bicara, dimengerti, kasih sayang, rasa aman dan sebagainya lebih dominan dari sekedar seks secara biologik walaupun wanita yang nimpomania (hiperseks) tak kurang pula jumlahnya.
Mengenai apa yang dibutuhkan wanita dari pria pasangannya mungkin sama dengan apa yang harus dipenuhi oleh seorang laki-laki dalam perkawinan, yang menurut agama (islam) adalah ” nafkah lahir” yaitu makan, sandang papan dan sebagainya dan ”nafkah batin” yaitu kasih sayang perhatian,perlindungan termasuk kebutuhan seksual. Jadi yang dibutuhkan lengkap dan berimbang , jasmaniah dan rochaniah.
Pada wanita pada umumnya memang ada dasar pembawaan ”masokisme”, mungkin ini disebabkan indentifikasi masa anak terhadap figur ibu yang lebih inferior terhadap figur bapak yang superior. Beberapa diantaranya bila ada faktor – faktor yang mendukung, bisa berkembang menjadi kepribadian masokistik atau malah gangguan masokisme seksual, yaitu bila satu-satunya cara untuk mendapatkan kegairahan dan kepuasan seksual adalah dengan dihina, diikat, dipukul, dicekik, atau penderitaan lainnya. Dan individu itu dengan sengaja turut dalam aktivitas dimana ia mendapat perhatian atau rudapaksa jasmani demi tercapainya kepuasan seksual itu.
Akibatnya wanita dengan masokisme seksual cenderung mencari pasangan pria yang sadistik pula, jadilah pasangan sadomasokistik. Jadi bisa saja fenomena yang anda amati bersama sahabat itu termasuk pasangan ini dan itu memang suatu deviasi (penyimpangan) seksual yang tahan bertahun-tahun, bukan karena wanita itu hanya butuh seks dan mau saja disiksa setengah mati oleh suaminya karena suaminya pandai memuaskan kebutuhan seksnya.
Pendapat anda benar, memang wanita yang seperti mau dan nrimo saja dianiaya suaminya bertahun-tahun tidak minta cerai itu bukan karena ia butuh seks dan terpuaskan oleh suaminya, dan belum tentu pula ia seorang masokistik seksual, tetapi karena faktor-faktor lain seperti demi anak-anak, ketergantungan sosial ekonomi, tradisi dan nama baik keluarga, dan lain-lain. Tapi bila penganiayaan tak tertanggungkan lagi, wanita itu bisa meledak, seperti kasus di negeri barat tentang wanita yang diadili dan akhirnya bebas karena memotong alat kelamin suaminya yang menghebohkan dunia itu.
Memang karena inferioritas wanita di negeri negeri timur, seperti Jawa dalam tradisi kuno di era pra Kartini, wanita cenderung (harus) nrima dan cenderung ”masokis” walaupun tidak mesti jadi masokistik apalagi masokisme seksual. Wanita dalam adat dan budaya tradisional itu tentu saja harus mau dihina, dianiaya, dst karena ia hanyalah ”konco wingking” dan ” swargo nunut neraka katut” bagi suaminya.

------------------------------------