PSIKIATRI BUDAYA DI INDONESIA


PSIKIATRI BUDAYA DI INDONESIA


Barangkali salah satu kelebihan psikiatri Indonesia dibanding negara-negara lain, khususnya negara barat seperti USA dan Eropa, adalah sub bidang psikiatri budaya (cultural-psychiatry). Hal ini disebabkan : (1) adanya keanekaragaman suku bangsa dengan corak khas budayanya masing-masing; (2) kepercayaan suku bangsa terhadap adat budaya masing-masing masih cukup kuat; (3) pola pikir dan perilaku masyarakat masih banyak terpengaruh warna budaya masing-masing; (4) pengaruh budaya terhadap bentuk dan gejala gangguan jiwa yang terjadi; (5) banyaknya fenomena perilaku yang terikat budaya setempat dan sukar dijelaskan secara ilmiah; dan (6) kepercayaan yang masih tebal pada sebagian masyarakat di daerahnya masing-masing terhadap “penyembuh tradisional” dengan metode-metode warisan leluhur.

Di negara-negara barat yang rata-rata masyarakatnya lebih “empirik” dan “rasional” tentu hal-hal diatas tidak ada lagi. Itulah sebabnya pada pertemuan dan seminar transcultural psychiatry internasional selalu para psikiater negara-negara Asia berbicara banyak dan psikiater dunia barat hanya mendengarkan dengan heran.

Bila dibanding sub-sub bidang psikiatri lainnya, seperti psikiatri biologi, psikoterapi, psikiatri anak remaja, psikiatri adiksi, dan psikogeriatri, nampaknya bidang-bidang ini masih “mengekor” pada psikiatri negeri barat. Betapapun majunya kelompok studi bidang-bidang ini, masih kalah jauh dengan negara-negara lain. Psikiatri budaya, karena kondisi sosio-antropologis Indonesia, mempunyai faktor-faktor yang tidak bisa ditandingi psikiatri barat.

Anehnya, justru bidang ini tidak diminati dan tidak berkembang di Indonesia. Mengapa? Mungkin orang berpikir, apakah gunanya? Adakah manfaatnya yang jelas dan praktis kita mendirikan kelompok studi untuk mendalami hal itu? Jelas masih jauh lebih bermanfaat dan praktis orang mendirikan kelompok studi psikiatri anak, adiksi atau psikiatri biologi daripada psikiatri yang mempelajari hal-hal yang “tradisional”, “kebelakang”, “absurd dan takhyul” yang sering irasional itu.

Definisi budaya, psikiatri, dan gangguan jiwa dari Prof Kusumanto

Berbicara tentang psikiatri budaya, cross-cultural, trans-cultural, atau cultural psychyatry saja, pastilah bicara tentang dimensi budaya, psikiatri sendiri dan gangguan mental. Ada banyak sekali definisi tentang “budaya” yang satu sama lain tidak persis sama karena tergantung pada segi apa kita memandang. Untuk mengenang dan menghormati Prof Kusumanto Setyonegoro, saya sitir konsep beliau dalam makalah yang disampaikan pada Semiloka Psikiatri Budaya Indonesia, 21-23 Juli 1994, diselenggarakan oleh Kelompok Studi Psikiatri Budaya (KSPB-IDAJI) The Indonesian Transcultural Psychiatry Association (ITPA),di Denpasar.

Budaya terdiri atas nilai-nilai (baik yang dinyatakan eksplisit maupun implisit), pola perilaku dan berbagai ide atau gagasan yang telah dituturkan sepanjang sejarah. Simbolik yang menjelma kemudian menjadi produk-produk kegiatan manusia, yang semuanya merupakan sumber data kreatifitas bagi berkembangnya lebih lanjut kegiatan-kegiatan berikutnya dan seterusnya.

Oleh sebab itu maka budaya itu : (1) memiliki keterikatan erat dengan masyarakat; (2) dapat dikuasai dan dipelajari oleh individu; (3) merupakan suatu kebinekaan dan suatu ke-ekaan secara bersama-sama (unity and diversity); (4) memiliki simbol-simbol tertentu yang dikomunikasikan melalui berbagai jenis transmisi simbolik dan (5) mengarah kepada suatu pembinaan integratif.

Psikiatri adalah cabang spesialistik ilmu kedokteran yang mengkhususkan diri dalam memperhatikan (diagnosis), mengobati (terapi, termasuk medikasi dan tindakan invasif lainnya), dan rehabilitasi (membimbing dan mengarahkan) mereka yang terganggu jiwanya menurut terminologi yang digunakan dan tercantum dalam ICD-10 dan DSM-IV, atau PPDGJ-III.

Untuk menjembatani kedua hal ini, Prof Kusumanto menampilkan pula dimensi anthropologi. Yaitu pengetahuan yang mempelajari manusia, khususnya asal-usulnya, klasifikasi, dan penyebarannya, serta hubungan antara berbagai ras atau bangsa dengan memperhatikan ciri-ciri fisik, sifat-sifat lingkungan dan berbagai karakteristik dari hubungan sosial dan budaya bangsa-bangsa tersebut.

Sedang gangguan jiwa, oleh Prof Kusumanto didefinisikan sebagai suatu istilah yang dapat dianggap seolah merupakan “lawan” dari istilah gangguan fisik. Tapi sekarang sudah diketahui, bahwa distingsi antara “jiwa” dan “fisik” adalah suatu hal yang cenderung menjadi “fiktif”. Dualisme dan dikhotomi tersebut merupakan suatu anakhronisme reduksionistik, karena itu merupakan suatu hal yang kurang menguntungkan.

Tiap gangguan (fisik dan mental) pada dasarnya memiliki: (1) kelainan struktural, misalnya colitis ulserosa, kelainan dalam struktur limbik, dll; (2) penampilan gejala, misal sakit kepala sebelah, kecemasan, dll; (3) etiologi, setidaknya faktor-faktor penting yang turut menyebabkan, misalnya kuman-kuman yang menyebabkan pneumonia, kekurangan atau kelebihan dopamin, dsb).

Selain itu, gangguan jiwa juga turut ditentukan oleh berbagai kondisi yang termasuk dalam konsep-konsep yang yang sudah luas diterima, seperti : distress, discontrol, disadvantage, disability, inflexibilitas, irrasionalitas, pola sindromal, dll. Maka secara mutlak, setiap gangguan jiwa harus memperlihatkan : (1) suatu sindrom atau pola perilaku yang secara signifikan nampak, dan yang terkait dengan suatu kondisi distress yang nyata (misal, keadaan nyeri yang mencekam); (2) disabilitas, misal menurunnya fungsi dalam kehidupan sehari-hari; dan (3) kemungkinan terjadinya resiko yang berat (misal kematian, kondisi gawat, kehilangan kebebasan).

Setiap gangguan jiwa itu bukanlah sekedar suatu respon saja, yang pada dasarnya dapat terduga atau layak terjadi atas dasar pertimbangan-pertimbangan kultural (misal reaksi sedih karena kecewa besar, reaksi kebingungan karena keluarga meninggal dunia, dsb). Suatu gangguan jiwa harus memperlihatkan manifestasi perilaku tertentu, suatu psikopatologi tertentu, dan disfungsi mekanisme biologik tertentu dari individu tersebut.

Karena manifestasi perilaku manusia sangat terpengaruh oleh dasar pertimbangan kultural setempat, maka manifestasi gangguan jiwapun mempunyai bentuk dan gejala yang terpengaruh budaya setempat. Budaya setempat sudah menjadi kesadaran kolektif manusia ditempat itu yang menentukan bentuk-bentuk gangguan perilaku yang muncul disitu. Fenomena kesurupan misalnya, sering terjadi pada daerah-daerah yang kepercayaannya kental tentang arwah-arwah leluhur atau tokoh-tokoh yang pernah hidup. Disinilah keterkaitan erat antara psikiatri dan budaya.

Psikologi Budaya dan Psikiatri Budaya

Marilah sekarang kita melihat bidang psikologi, suatu bidang yang bukan hanya dekat dengan psikiatri tapi bahkan merupakan suatu kesatuan. Karena sama-sama mempelajari mental dan perilaku manusia, hanya psikiatri lebih menekankan pada “disorder”, klasifikasi diagnostik dan terapinya. Dalam khasanah psikologi juga ada bidang “psikologi lintas budaya” dan “psikologi budaya”. Psikologi budaya justru menjadi kritik psikologi lintas budaya.

Much (1995) mendefinisikan psikologi budaya sebagai ilmu tentang perkembangan manusia yang melibatkan hubungan antara manusia, kelompok sosial, dan sistem-sistem simbol budaya. Simbol budaya terwujud melalui bahasa dan praktek praktek budaya lainnya, seperti: tata cara makan, ritual keagamaan, upacara perkawinan, atau upacara kelahiran. Kesemuanya itu bertujuan untuk mengkomunikasikan simbol-simbol budaya. Psikologi budaya menekankan pada kategori teoritik di lapangan dari sebuah budaya tempat mereka berasal.

Much (1997) berpendapat bahwa budaya manusia memiliki banyak aspek. Hubungan antar dapat dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya melalui proses kreasi seseorang yang di dalamnya termasuk artefak (terentang dari benda-benda purbakala hingga ide-ide yang tertulis dalam buku), perilaku (mulai kebiasaan motorik hingga berpikir, berkomunikasi, dan mempengaruhi orang lain), atau abstraksi (kepercayaan atau pengetahuan tentang dunia, tentang diri sendiri dan orang lain, serta tentang hasil abstraksi kita sendiri).

Untuk memahami proses hubungan antar aspek budaya perlulah melihat sistem-sistem yang terkait dalam suatu budaya. Kajian yang dilakukan haruslah melibatkan sistem-sistem ini, peniadakan salah satunya akan melemahkan hasil kajian. Dalam psikologi budaya terdapat tiga sistem utama yang saling terkait : (1) manusia dengan sistem biologi tersendiri dengan pengalaman sejarah yang unik; (2) masyarakat, khususnya struktur sosial setempat dalam lingkup budaya tertentu; (3) pengertian simbolis, budaya adalah suatu sistem representasi, sistem simbol kolektif dan sistem penciptaan makna yang terinstitusionalisasi.

Tiga sistem utama yang saling terkait ini dapat pula menjelaskan suatu fenomena perilaku manusia yang unik, spesifik, yang dianggap sebagai “gangguan”, yang dalam psikiatri dimasukkan dalam kriteria culture-bound syndromes. PPDGJ-III mengeluarkan suplemen khusus untuk Sindrom yang Terkait Budaya Setempat ini. Kusumanto Setyonegoro (1995) menjelaskan hal ini sebagai perilaku yang menyimpang yang terikat pada lokalitas tertentu secara khusus, yang terkait secara langsung atau tak langsung pada pengalaman pribadi yang kurang menyenangkan.

Sering jenis sindrom ini dapat digolongkan dalam istilah atau diagnosis yang umum digunakan (PPDGJ-DSM) tetapi banyak yang menggunakan nama-nama lokal dan dianggap sebagai “aberasi”/”gangguan” dalam arti kata”illness” dan bukan disorder atau disease.

Culture-bound syndromes terdapat di seluruh dunia dengan gejala-gejala yang menarik perhatian, dengan kekhususan istimewa. Respons sosial itu jelas terkait kepada faktor-faktor budaya yang merupakan kenyataan dalam lokalitas-lokalitas tersebut. Beberapa culture-bound syndromes yang terkenal diantaranya adalah :

(1) Amok , diduga terjadi karena perasaan yang dihina; (2) Attaque de nervious, diduga disebabkan stres yang memuncak dalam keluarga; (3) Bilis & Colera, diduga karena adanya amarah besar yang tersimpan dalam hati; (4) Brain Fag, diduga karena kelelahan mental kebanyakan belajar; (5) Dhat, disuga disebabkan anxietas yang memuncak dan kecemasan hypokhondrial; (6) Ghost Sickness, diduga disebabkan mereka yang sudah meninggal (kadang dihubungkan dengan “tenaga hitam”). Timbul impian-impian buruk, kelemahan, ketakutan akan bahaya, anxietas, kehilangan nafsu maka, seperti tercekik, dan halusinasi; (7) Koro, terkenal di Asia Tenggara, yaitu ketakutan akan terancamnya penis laki-laki masuk ke dalam rongga perut; (8) Latah, terkenal di Indonesia dam Malaysia, biasanya pada wanita setengah umur yang bila terkejut secara repetitif menyebut kelamin laki-laki.

Kelompok Studi Psikiatri Budaya

Ada sedikit pengalaman, yang tidak saya sadari sepenuhnya, bahwa saya sudah masuk dalam bidang kajian psikiatri budaya. Pada tahun 1989 sewaktu saya masih residen, guru saya Prof Suyono memberikan instrumen ciptaannya tentang falsafah hidup Jawa untuk saya trial dulu dalam sebuah penelitian kecil sebelum masuk dalam penelitian thesis doktor beliau. Demikian pula teman-teman saya residen semua diberi satu instrumen dari thesis beliau yang memakai 14 instrumen psikometrik itu. Saya memakai instrumen itu dalam sebuah penelitian yang berjudul “Aspek Falsafah Hidup Jawa terhadap Depresi di Yogyakarta”.

Penelitian ini kemudian saya presentasikan dalam Kongres IDAJI di Ujungpandang dan telah masuk majalah Jiwa pula. Untuk itu saya harus masuk dalam kegiatan dua kelompok kebatinan di Yogyakarta selama tiga bulan. Yaitu aliran kepercayaan Pangestu dan Sapto Dharmo. Saya tidak sadar waktu itu bahwa saya sudah masuk dalam khasanah psikiatri dan psikologi budaya. Lima dimensi Falsafah Hidup Jawa yang harus saya ukur adalah Rila, Sabar, Narima, Andhap Asor, dan Prasaja. Hasil penelitian maenunjukkan bahwa pada kelompok orang tua, ada korelasi negatif antara skor falsafah hidup Jawa dengan derajat depresi yang saya ukur dengan BDI. Sedang pada kelompok anak muda, tidak didapatkan korelasi antara kedua variabel ini.

Delapan belas tahun kemudian, dimensi falsafah hidup Jawa ini kembali saya pakai untuk meneliti masyarakat Bantul korban gempa yang cepat bangkit membangun kembali dalam waktu setahun menjadi Bantul yang lebih indah dari sebelum kena gempa. Hasil penelitian kualitatif ini saya presentasikan dalam Kongress Psikoterapi Asia-Pasifik di Jakarta tahun 2008 yang bertema “Listening To The Hearts Of The East”. Berarti Kongress Psikoterapi ini juga kental psikiatri budayanya.

Buku makalah Semiloka Psikiatri Budaya tahun 1994 itu membuktikan bahwa pada waktu itu telah ada Kelompok Studi Psikiatri Budaya Budaya (KSPBJ-IDAJI) atau dengan nama keren The Indonesian Transcultural Psychiatry Association (ITPA) jauh sebelum kelompok-kelompok studi seperti psikiatri biologi, skizofrenia, psikoterapi, psikogeriatri , adiksi muncul. Tokoh-tokoh KSPBJ itu adalah seperti Kusumanto Setyonegoro, LK Suryani, Denny Thong, dan lain lain. Tapi sesudah itu tak terdengar berita maupun kegiatan dari KSPBJ yang sangat bagus ini.

Pada tahun 1999 saya mendapat permintaan dari Prof Byron Good, profesor antropologi budaya yang sering datang ke Yogya, untuk membahas makalah beliau tentang “First Episode Schyzophrenia” di berbagai negara yang dibacakan pada sebuah pertemuan kecil di Surakarta. Saya hadir di pertemuan itu, hanya dihadiri 30-40 psikiater, di ruang rapat lantai dua RSJ Kentingan Surakarta, sehari sebelum Kongress IDAJI tahun 1999 di Hotel Kusuma Sahid Surakarta dibuka.

Hadir dengan membawakan makalahnya rekan-rekan psikiater, seperti Rusdi Maslim dengan makalahnya tentang penganiayaan seksual terhadap etnis Cina dalam huruhara pembakaran di Jakarta, Denny Thong dengan makalahnya “Pendekatan Psikiatri Budaya dalam Penanganan Gangguan Jiwa di Sulawesi Selatan”, Robert Reverger dengan makalahnya tentang psikiatri budaya di Bali, dan Benny Ardjil tentang agresivitas pada suku di Kalimantan. Tentunya Prof Byron Good sendiri, dengan teman-temannya antropolog Amerika.

Saya membahas makalah beliau, antara lain, dengan satu “statement wasiat” dari Prof Suyono “bagaimanapun bila diagnosis skizofrenia sudah ditegakkan, itu berarti tidak mungkin sembuh total, dan bila kemudian bisa sembuh total berarti diagnosismu salah”. Tentu pembahasan saya ini ditentang Prof Byron yang sangat optimis membuktikan bahwa first-episode skizofrenia bisa sembuh total di negara-negara yang telah ditelitinya. Sekali edan tetep edan, tak bisa disembuhkan, kudu den singkiri (harus dihindari) juga merupakan konsep lokal dalam kesadaran kolektif masyarakat yang masuk lingkup kajian psikiatri budaya.

Seminar kecil dan sederhana tapi bermutu itu tentu saja tanpa sponsor, karena mana ada pabrik obat mau menyponsori seminar tentang culture-bond phenomen? Jadi tanpa honor pembicara, hanya coffe-break dan nyamikan tanpa makan siang, tapi berlangsung hangat dan penuh semangat.

Pada tahun 2006, terjadi “kesurupan masal” dimana-mana yang cukup mengejutkan dan disiarkan berulang kali oleh TV-TV swasta. Anak-anak perempuan satu kelas mendadak bertingkah aneh, menjerit, melolong, kejang-kejang, pingsan, mendelik-delik, tertawa, bersuara lain, secara hampir serempak, dalam pelukan gurunya masing-masing. Para calon dokter FK UMY kemudian merencanakan menggelar seminar tentang kesurupan masal ini dengan pembicara dua psikiater dan satu psikolog. Yaitu saya sendiri, sahabat saya Rusdi Maslim SpKJ, dan Prof DR Nurocman Dekan Fak Psikologi UGM.

Saya susah payah menyiapkan makalah untuk fenomena kesurupan yang tidak individual tapi serempak pada anak perempuan satu kelas ini. Tepat pagi hari jam 6.00 di hari seminar itu, terjadi gempa dahsyat yang mengguncangkan Bantul Yogyakarta dengan ribuan korban meninggal. Seminar jelas batal tak jadi dilaksanakan karena gedung tempat seminar itu doyong dan retak-retak berat. Sayang, andaikata seminar jadi dilaksanakan, tentu terjadi diskusi psikistri dan psikologi budaya yang menarik antara pembicara sendiri. Sampai sekarang tak ada lagi keinginan untuk mengadakan seminar tentang kesurupan masal dalam perspektif psikiatri dan psikologi budaya itu.

Pada tahun 2008 ini, dalam Kongress Psikoterapi di Jakarta, saya bertemu sahabat-sahabat saya psikiater seperti Denny Thong, Robert Reverger, Nalini, Benny Ardjil, dan Rusdi Maslim. Kepada mereka masing-masing saya sampaikan keinginan untuk mengadakan “reuni” pertemuan psikiatri budaya, sederhana dan kecil saja tanpa sponsor, masing-masing membawakan makalah kajian psikiatri budaya. Semua teman saya itu mengangguk mantap sambil mengacungkan dua jempol tangannya. Pertemuan pertama bisa dimana saja, Yogya, Solo, Magelang, Surabaya atau Denpasar. Semua bergairah, menunggu hal yang sudah lama ditunggu-tunggu, siap dengan makalah kajian psikiatri budaya masing-masing.

Tapi kemudian kami berpisah. Kembali pada kesibukan kerja masing-masing di kantor dan RS, praktek sore dan malam hari, dan ceramah-ceramah yang meletihkan. Minggu demi minggu dan bulan demi bulan
dan kami semua kembali dalam kesibukan masing-masing. Janji dengan acungan jempol itu "gone with the wind". Selang beberapa waktu kemudian sahabatsaya, dr Sigid, SpKJ, Direktur RSJ Surakarta, menawarkan. "Dianakke neng Solo we mas, neng Hotel Sahid, pa neng Aula RSJ, tak tanggung kabeh wis. Mesti sukses!", katanya. Tapi dua bulan kemudian dia meninggal dunia. Oh, sahabatku. Selamat jalan Gid, semoga kau disisi Tuhan sekarang.

------------------------------------ dr. Inu Wicaksana, SpKj. twitter :: facebook :: google plus