Perayaan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang meriah di Bogor dan Jakarta itu sudah lewat dua bulan ini. Seminar kesehatan jiwa yang dihadiri Menkes dengan pejabat-pejabat bawahannya, pidato-pidato membahana tentang pentingnya kesehatan jiwa dan penanganan holistik gangguan jiwa, pertandingan olah raga antar pasien jiwa yang dikirim dari RSJ-RSJ vertikal, bazar dan pameran hasil karya rehabilitan, pameran seni lukis penyandang-penyandang skizofrenia, bahkan penampilan artis-artis selebritis yang berteriak lantang di panggung tentang anti pasung, dan acara-acara gempita lain lewatlah sudah dua bulan ini. Lalu sepi lagi. Lalu sesudah itu apa?
Gangguan jiwa dalam persepsi orang-orang yang riuh memperingati HKJS ini adalah “gangguan jiwa berat dan khronik” alias psikotik. Dan psikotik itu ada empat kelompok besar : gangguan psikotik organik, gangguan afektif berat, gangguan waham menetap (paranoid) dan yang terbanyak – skizofrenia. Gangguan jiwa kelas “ringan” dan “sedang” yang lebih dari 300 diagnosis yang bagaikan gunung es tidak dianggap sebagai gangguan jiwa karena tertutup oleh keluhan-keluhan fisik dan datang di RSU atau Puskesmas. Dianggap “tak ada masalah” dengan itu malah malah dianggap tidak ada.
Dari tahun ketahun - sejak dicanangkan tahun1996 – bila perhelatan akbar HKJS itu selesai, kembali sepi seperti semula. Tak ada perubahan apa-apa. Kembali saya dan rekan-rekan saya para psikiater tua bersama para perawat jiwa di bangsal masing-masing sedih merenungi pasien-pasien skizofrenia kami itu. Mereka yang sudah lebih dari 10 kali mondok yang bila dipulangkan hanya 3-5 hari di rumah sudah dimasukkan kembali ke bangsal kami karena dikatakan “kambuh lagi” padahal sesungguhnya keluarga sudah bosan menghadapi pasien itu di rumahnya. Mereka yang satu keluarga ada 3 orang yang menderita skizofrenia dan secara bersama-sama atau bergantian dimasukkan ke RSJ karena si bapak yang sehat sudah kuwalahan hidup bersamanya di rumah. Mereka yang tak terurus dan menggelandang dan akhirnya “digaruk” Dinsos dan dibawa ke RSJ, bila sudah “sembuh sosial” diambil Dinsos dimasukkan panti karya dan dimasukkan RSJ lagi karena kumat. Mereka yang dimasukkan RSJ oleh keluarga dan tetangannya dan kemudian tak pernah ditengok sekalipun dan keluarga tak mau mengambil kembali meski sudah disurati RSJ 8 kali. Mereka yang sudah berbulan-bulan di RSJ dan keluarga tak mau mengambil karena keluarga dan masyarakat sekitar menolaknya si penderita kembali ke rumah meski tidak “berbahaya” lagi. Mereka yang sudah “setengah dipasung”, atau “dipasung ringan”, atau dipasung bertahun-tahun oleh keluarga dan masyarakat sekitar dan pihak RSJ harus datang untuk melepaskan dan memandikannya untuk dibawa ke RSJ.
Fenomena-fenomena macam ini masih saja terjadi di RSJ-RSJ Vertikal maupun RSJ daerah di Indonesia. Sejak dicanangkannya HKJS tahun 1996, dari tahun ke tahun perayaan HKJS semakin besar dan meriah, tetap saja tak ada perubahan yang bermakna untuk hal-hal seperti diatas. Tetap saja masyarakat, atau organisasi-organisasi masyarakat, kurang peduli pada individu-individu penyandang skizofrenia dengan keluarganya yang rata-rata kurang mampu seperti diatas. Munculnya program JPS tahun 2005, yang kemudian menjadi Jamkesmas tahun 2006 sampai sekarang memang sangat bermanfaat dan menolong banyak, tapi inipun ada bumerangnya. Disatu pihak itu menolong penderita dan keluarganya yang benar-benar tidak mampu, disatu pihak “mengenakkan” atau keluarga “memanfaatkannya” untuk tidak mau mengurus keluarganya yang menyandang gangguan jiwa berat. Mereka dimasukkan RSJ, karena gratis mondok maksimal 3 bulan, maka pas 3 bulan diambil pulang dan 3 hari kemudian dimasukkan kembali karena penggratisan mulai dari awal lagi untuk 3 bulan dan RSJ tak akan bisa menolak pasien. Dengan demikian keluarga bisa “membuang” penderita ke RSJ untuk selama-lamanya. Tentu ini hanya diketahui, atau dirasakan oleh para psikiater yang telah bekerja di RSJ bertahun-tahun. Bagi yang tidak bekerja di RSJ tentu tak bisa mengetahui, tak merasakan, bahkan tak bisa membayangkan hal-hal seperti ini.
Setiap tahun HKJS mempunyai tema besar yang indah dan menarik, berasal dari WHO, yang semuanya pastilah bermuara pada masalah inti : Kesehatan Jiwa Masyarakat atau Community Mental Health. Ternyata ini cukup “absurd” karena diseminarkan berulangkali hanya menghasilkan untaian kata-kata indah menarik, suatu orasi yang sangat bagus, yang memuaskan diri yang mengucapkannya tapi tak pernah kena sasarannya. Dan mereka yang nampak serius mengucapkan dan mendiskusikannya tak pernah peduli kena subyek sasarannya atau tidak.
Kesehatan Jiwa Masyarakat atau Community Mental Health yang didefinisikan macam-macam itu sesungguhnya intinya Cuma sederhana : “Kesehatan Jiwa bagi seluruh anggauta masyarakat yang diprogram, dilaksanakan dan dikelola oleh masyarakat sendiri, pihak RSJ hanyalah fasilitator, atau menyediakan sarana pengobatan dan perawatan”. Nah kita cukup puas dengan batasan ini dan tak pernah membahas siapakah “masyarakat” itu? Dan apakah “pelayanan kesehatan jiwa “ itu? Tentu dalam hal mengurus penderita gangguan jiwa berat yang tak mampu, gelandangan di jalan, atau dipasung, tak ada orang yang menunjuk dirinya sendiri sebagai “masyarakat” bukan?
Sekitar 15 tahun lalu telah dibentuk suatu badan“organisasi lintas sektoral” untuk mengelola hal-hal diatas yang disebut Badan Pembina Kesehatan Jiwa Masyarakat. Tentunya yang membentuk Depkes dan Depdagri. Di tingkat kabupaten, adalah “Pelaksana” dan di propinsi “Pembina”. Diketuai oleh Bupati/Kepala Daerah atau Sekda, dan Gubernur atau Sekwilda. Beranggotakan semua Kepala Instansi yang ada di wilayah itu, untuk memikirkan, memprogram dan melaksanakan fungsi “kesehatan jiwa masyarakat” dan haruslah peduli, memikirkan, membantu atau setidak-tidaknya “ngiguhke(Jawa)” kasus-kasus diatas. Jadi yang mengelola kesehatan jiwa masyarakat ini adalah “masyarakat” dalam arti Pemda yang punya wilayah dengan segenap instansi/dinas yang ada di wilayah tersebut. Contohnya, Dinas Sosial, Dinas Agama, Dinas Pendidikan, Ketertiban masyarakat dan Kesra, Pertanian, Muspida, dll.
Suatu ide dan konsep yang sangat bagus dan hebat. Tapi prakteknya, hidup segan mati tak hendak untuk tidak mengatakan nol besar. Saya tahu benar masalah ini karena di tahun 1993 saya diperintah direktur RSJM untuk menjadi anggauta BPKJM Magelang dan ikut rapat mewakili RSJ. Programnya hanya seminar sekali setahun dengan pembicara kepala-kepala instansi dengan hadirin para siswa-siswa wakil SMP dan SMA di wilayah itu. Sudah itu selesai sudah. Mungkin mereka berpikir daripada memikirkan bagaimana kasus-kasus diatas bisa sampai RSJ, atau bagaimana supaya Puskesmas obatnya lengkap dan dokternya mau menangani kasus diatas, atau bagaimana melepas korban pasung supaya tidak dipasung lagi, lebih baik melaksanakan “penggarukan” pasangan-pasangan intim PNS yang menginap di hotel-hotel melati siang hari. Itu lebih sip dan nyata hasilnya. Saya telpon teman-teman saya di berbagai wilayah di Indonesia, hasilnya sami mawon. Malah ada yang tak dibentuk sama sekali, apa ta itu BPKJM?
Tahun 2005, BPKJM diubah menjadi Tim Pembina Kesehatan Jiwa Masyarakat (TPKJM) supaya lebih “operasional”. Meniru Badan Koordinasi Napza Daerah yang diubah jadi BNN dengan struktur di pusat supaya punya gigi untuk menggertak dan menggigit. Saya sambut optimis hal ini. Bersama dr Tantri SpKJ, dan Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang, saya bikin pelatihan tentang pelayanan kesehatan jiwa untuk kader-kader kesehatan jiwa yang terdiri atas personil berbagai instansi. Buku kecil panduan TPKJM berkover biru cantik yang dikeluarkan Ditkeswa Depkes itu saya fotokopi dan bagikan pada para kader itu. Buku itu berisi latar belakang, definisi, maksud dan tujuan, fungsi TPKJM yang sangat bagus dan mulia yang pasti sudah dibagikan ke RS-RS, Dinas Kesehatan, dan Puskesmas2 seluruh Indonesia. Tapi saya ragu, sampaikah buku itu atau masih adakah buku itu atau dibacakah buku itu atau hanya disimpan di lemari rekam medik? Sesudah pelatihan materi-materi keswa dua hari itupan kemudian “gone with the wind” sampai sekarang, 2011. Padahal langkah berikutnya sangatlah ideal, pembentukan Desa Siaga bidang keswa yang bisa menjadi “ujung tombak” TPKJM.
Desa Siaga adalah desa yang memiliki Kader2 Sehat yang mampu membantu, mendampingi, semua penderita sakit di wilayahnya, disini termasuk penderita gangguan jiwa. Untuk kader sehat bidang keswa, target saya adalah : (1) mampu mengidentifikasi gangguan jiwa yang timbul; (2) mampu menjelaskan pada keluarga apa yang harus dikerjakan; (3) mampu “ngiguhke” penderita itu harus dibawa kemana untuk mendapat pengobatan; (4) membantu transport penderita sampai ke RSJ dan mencarikan kartu Jamkesmas; (5) melepaskan korban pasung dan membawanya ke RSJ; (6) menengok penderita selama perawatan panjang di RSJ; (7) melaksanakan home visit pada para penderita setelah perawatan di RSJ dan menge-chek apakah penderita mau kontrol dan kemana (bisa ke Puskesmas); dan (8) membantu keluarga untuk memberikan pekerjaan atau kegiatan bagi penderita dan memotivasi dia aktif melakukan hal itu.
Kedelapan hal ini bukan masalah sulit, asal ada niat dan kemauan saja pasti mudah dikerjakan oleh kader2 sehat itu. Masalahnya niatnya tidak ada dengan alasan biaya dan kemauan jelas tak tumbuh. Jadi “ujung tombak kyai plered” dari TPKJM ini bukannya tumpul tapi tombaknya memang tidak dibikin dengan alasan, salah satunya, biaya. Alasan klasik. Maka “ujung tombak” untuk masalah keswa ini sampai sekarang masih “ujung tombak” kuno peninggalan Belanda, Rumah Sakit Jiwa dengan segenap aparatnya yang sekarang agak termehek-mehek memikirkan tupoksinya di bidang keswa ini karena sibuk memikirkan melaksanakan pelayanan umum 4 besar dengan dokter2 ahli tetapnya untuk bisa “membantu” pelayanan pasien2 fisik RSUD-RSUD di sekitarnya (saya tidak mengatakan “merampok” lho!).
Pada bulan Oktober 2010 saya membuat proposal seminar Community Mental Health: Revitalisation di RSJM tapi mendadak saya harus masuk ICCU RS Sardjito 5 hari, toh seminar itu dilaksanakan oleh para psikiater muda di RSJM. Seminar dengan 9 SKP IDI itu hasilnya, penyegaran pendidikan untuk dokter Puskesmas bagaimana mengobati gangguan2 jiwa di Puskesmas. Jauh panggang dari api. Padahal sasaran proposal saya adalah menggebrak kepala2 instansi dan Pemda sebagai anggauta TPKJM untuk sadar dan tahu tugas rielnya dan fungsi sosialnya dalam Community Mental Health yang absurd itu. Proposal itu sudah saya pasang di blog saya ini supaya rekan2 saya tahu ide tujuan seminar itu tapi nyatanya ya tetap tidak tahu. Andai saya beritahupun toh tidak akan didengarkan karena memang tidak menarik. Lebih menarik mendengarkan obat2 generasi baru atypical atau antidepresan yang cukup bergengsi harganya.
Apakah Direktorat Bina Keswa Depkes yang menerbitkan buku kecil cantik panduan TPKJM dan Kesehatan Jiwa Masyarakat itu masih memikirkan hal itu sekarang? Ya mestinya masih, Cuma tak terdengar gemanya. Atau memikirkan hal lain? Masalah penanganan keswa bencana alam? Ah inipun jelas tugas dan fungsi TPKJM, cuma karena memang tak dikenal diberbagai wilayah ya terpaksa diserahkan petugas2 di RSJ. Atau memikirkan akreditasi RSJ dengan kriteria penilaian akreditasi RSU? Entahlah. Wallahualam bisawab.
RSJ-RSJ sendiri sekarang sudah jarang membicarakan Community Mental Health, TPKJM, atau Tri Upaya Bina Jiwa. Mungkin sudah bosan, atau muak, merasa itu hal absurd yang tak ada manfaatnya. Maka perhelatan akbar HKJS yang riuh dengan pentas seni, musik, dan jatilan, bazar, pameran dan pertandingan olah raga antar pasien itu selalu berakhir sepi. Sebuah seremonial meriah indah tiap awal Oktober yang berlanjut angelangut.
---------------------------