KRISIS MAKNA


KRISIS MAKNA


Saya seorang pria, usia 45 tahun, berkeluarga dengan 3 anak, pengusaha bakpia dan makanan khas Jogya lainnya di Jogyakarta. Usaha bisnis yang telah saya jalani selama 20 tahun ini terbilang cukup maju. Tiap hari bus mini boks membawa bakpia dan makanan lain ke Klaten, Purworejo, Magelang, Salatiga, berjalan lancer. Demikian penjualan di dalam kota Jogya cukup sukses terutama di hari-hari libur tiga hari.

Istri saya duduk di kasir, mengatur keuangan, dan mengendalikan para pegawai yang berjumlah 20 orang. Saya mampu membuka cabang dua tempat di penggiran kota Jogya. Dua cabang inipun sukses dengan adik-adik saya yang duduk di Kasir. Akhirnya tak ada lagi yang bisa saya kerjakan.

Saya sudah mempunyai apa yang saya cita-citakan waktu muda dulu. Bisnis yang maju, rumah dan mobil lebih dari satu, keluarga yang baik, karyawan yang rajin. Tak ada tantangan lagi bagi saya. Semua pekerjaan telah terbagi habis dan berjalan lancer. Saya lalu mengalami kejenuhan, dan kebosanan. Lalu sering berpikir apa arti hidup saya ini? Apa makna hidup ini? Dalam kejenuhan seperti itu saya lalu main judi dengan teman-teman pengusaha. Judipun tidak terus-terusan menghibur. Ada titik kejenuhannya juga. Dapatkah dokter memberi saran tentang makna hidup ini dalam pandangan dokter?

PEMBAHASAN

Salah satu penyakit kejiwaan di dunia modern adalah “penyakit makna”, atau “krisis makna”. Ini bisa menimpa orang yang gagal dalam hidupnya, maupun orang yang sangat sukses seperti anda. Kehidupan yang individualistik, sangat rasional dan monoton, kemajuan teknologi dan informasi yang pesat, perebutan kedudukan, persaingan kerja yang tanpa akhir, redupnya nilai humanistic, ajaran agama yang penuh dogma dan larangan, pencarian kekayaan yang tanpa henti, politik yang gegap gempita, akhirnya akan melemparkan individu dalam kekosongan. Kehampaan. Lalu kita bertanya, apakah arti hidupku ini?

Salah satu cara yang paling umum yang ditempuh oleh kita yang kehilangan makna ini untuk mencari keutuhan adalah mendalami agama atau nilai relijiusitas tertentu, atau obsesi terhadap kesehatan. Yang pertama, misalnya, banyak orang barat yang pergi ke timur untuk mempelajari meditasi, yoga, dan zen. Atau di negeri kita banyak uztad yang dipanggil berceramah di hotel mewah untuk kalangan atas. Yang obsesi pada kesehatan, tertarik pada setiap mode kesehatan, diet vitamin, dan latihan kebugaran yang dijejalkan pada kehidupan yang serba sibuk. Sementara itu, arus utama pengobatan modern bersifat sangat Newtonian. Tubuh dilihat sebagai suatu mekanisme, sebuah mesin gen yang diminyaki dengan baik, penyakit sebagai sesuatu yang harus dimusnahkan atau diobati, ketuaan dan kematian sebagai “cacat” atau “musuh” sistem tubuh.


Namun, beberapa dokter dan profesional di bidang kesehatan telah mulai melihat penyakit secara berbeda. Mereka menganggapnya sebagai jeritan tubuh dan pemiliknya agar mendapatkan perhatian dalam hidup kita yang apabila ditinggalkan akan mengakibatkan kerusakan permanen, ketidakseimbangan fisik, emosi dan spiritual, bahkan kematian. Mungkin sikap atau gaya hidup kitalah yang mengakibatkan timbulnya masalah, bukannya ketidakseimbangan kimiawi.

Sebagian besar penderitaan kita, bahkan kondisi fisik yang kronis, merupakan “penyakit makna”. Kanker, penyakit jantung, Alzheimer, dan gangguan lain yang mungkin didahului oleh depresi, rasa lelah, alkoholisme, dan kecanduan obat adalah bukti dari krisis kekosongan makna yang masuk ke dalam sel-sel tubuh kita. Pada akhirnya kematianpun dialami dengan rasa sakit dan kengerian, sebab kita tidak memiliki konteks makna untuk menempatkan akhir alamiah hidup ini. Tidak ada jalan untuk mati dengan damai, penuh rachmat dan berkah.

Nilai-nilai, hakekat, atau makna hidup inilah inti filsafat Victor Frankle, seorang psikiater besar dari Wina yang hidup di jaman Freud, seabad yang lalu. Ia disekap dalam kamp knsentrasi Nazi Jerman bersama seluruh keluarganya. Ia disiksa, dibiarkan kelaparan, disuruh kerja paksa, anak istrinya dibunuh. Tapi ia tetap hidup. Justru karena itulah ia menemukan makna hidupnya. Nazi Jerman boleh mengkerangkeng dia, menyiksa habis seluruh tubuhnya dan membunuh seluruh keluarganya, tapi mereka tak bisa mencengkeram jiwa dan pikirannya. Kebebasan jiwa dan pikiran yang melayang bebas bersama Tuhannya inilah makna hidup Victor Frankle.

Makna hidup bisa bersifat umum dan universal, tapi bisa pula sangat sederhana, unik, spesifik dan sangat pribadi bagi kita masing-masing. Menyembuhkan total seorang pecandu yang sudah menyuntik dirinya dengan heroin selama 12 tahun tentu suatu makna hidup yang sangat bernilai bagi saya. Demikian pula “menyadarkan kembali” pecandu overdosis yang sudah koma selama 3 jam. Atau berhasil menyambung kembali tangan putus yang sudah terlempar di jalan berdebu tentu makna hidup yang tak ternilai bagi sahabat saya Rahardian, si dokter bedah tulang yang hebat itu. Penghargaan orang, imbalan uang, penilaian atau ganjaran dari Tuhan tidak penting dalam konteks makna ini. Makna hidup adalah tanpa pamrih. Makna hidup adalah untuk makna hidup itu sendiri.

Jadi bila anda yang sukses dan berkecukupan kebingungan mencari makna hidup, cobalah mencari hal yang sederhana saja. Buatlah hidup anda berguna bagi orang lain. Kerjakanlah suatu pertolongan bagi orang lain yang sangat membutuhkan. Membelikan baju dan celana berikut uang saku bagi 50 anak panti asuhan yatim piatu tiga hari menjelang Lebaran mungkin bisa menjadi makna hidup yang sangat berarti bagi anda. Atau membiayai 70 anak dari Gunung Kidul yang putus sekolah untuk bisa melanjutkan pendidikan ke SMK-SMK di Jogya, berikut asrama dan biaya hidupnya, mungkin menjadi makna hidup yang tak ternilai. Tidak usah dengan wawancara atau pidato di TV sehingga orang lain tahu. Makna hidup sejati adalah yang tak diketahui orang lain, hanya anda sendiri yang merasakan, menghargai dan menikmatinya.

------------------------------------