Era “booming” heroin sudahlah berlalu. Hanya saya, mungkin anda, para polisi reserse narkotik, dan para pecandu sendiri yang tahu. “Booming” heroin tahun2 1996 sampai sekitar 2003 telah mulai mereda. Entah karena apa, mungkin ketatnya pengawasan kepolisian, sudah banyaknya pecandu2 atau calon pecandu addict heroin dan para kurir2 pengedar sampai bandar besar kecil yang ke “gap” alias ketangkap. Ditambah lagi pemasukan2 “barang” dari luar negri yang hampir selalu ketangkap di bandara. Mereka langsung dihukum. dipeenjara, entah berapa tahun.
Ini yang membuat para pecandu heroin yang semula berbondong-bondong mendatangi praktek saya untuk detoks, tahun2 sesudah 2004 mulai berkurang. Mungkin karena tak sempat “pakau” lagi karena keluar-masuk LP, atau kalau sudah lebih 5x dikirim ke Nusakambangan, atau meninggal karena overdosis dan komplikasi HIV/AIDS. Sisanya lagi mungkin sudah benar2 sembuh, sudah benar2 sadar untuk menghindari serbuk putauw, atau pindah ke zat adiktif lain.
Waktu tahun2 2005 itu yang terbanyak adalah alkohol, sabu-sabu, dan ganja. Inex atau ekstasi sangat sedikit dikonsumsi, untunglah, paling2 hanya Malem Minggu saja di diskotik2. Bila Pil Adam ini yang dipakai sebagai pengganti heoin, cepat hancurlah muda-mudi kita itu, karena dampaknya seketika yang cukup dahsyat. Aritmia cordis yang busa langsung meninggal, atau stroke karena tekanan darah yang meningkat lebih 220mg.
Di tahun 2008, atau 2009 nan tiba2 banyak anak muda berdatangan ke praktek saya di Jogya minta obat2 anxiolitik, anti cemas jenis2 tertentu, semuanya derivat Benzodiazepine. Seperti lorazepam 2mg, alprazolam 2mg, estazolam 2mg, clonazepam 2mg, diazepam 5mg dan bromazepam 6 atau 12mg, dan bahkan obat kuno nitrazepam 5mg. Semuanya dosis kemasan tablet maximal, tak mau diberi dosis sedang 1mg atau minimal 0,25mg.
Mereka bilang merasa “enak” dan “bisa kerja” dengan obat2 itu yang katanya pernah “diberi temannya” atau pernah diberi dokter itu, ini, dokter sana, situ. Mereka menyebut psikiater, dokter spesialis lain, atau bahkan dokter umum. Tentu hal ini kurang bisa dipercaya, atau kalau mereka datang ke dokter lain mereka bisa saja bilang minta obat2 itu karena pernah diberi oleh psikiater adiksi, saya.
Nah, saya pikir era “pil koplo” tahun2 1980an telah datang kembali. Diwaktu itu heroin, sabu dan ekstasi belum ada sehingga para pecandu “hanya” memakai pil koplo (yang tenar waktu itu metal. lekso, Dum. Rohyp, sedatin dan MG). Sekarang pil koplo gerenrasi baru adalah seperti saya sebutkan diatas.
Apakah kriteria pil koplo itu? Tak jelas. Memang tak ada kriteria pastinya. Pil koplo adalah golongan obat2 anti cemas, dan golongan antiinsomnia, yang disalahgunakan. Dalam arti dipakai secara ngawur, tidak sesuai aturan dokter dan dosis terapeutik. Dipakai dalam dosis besar sekali tenggak untuk diambil “efek sampingnya”, melayang atau “high” dan “fly”. Berarti semua jenis obat anxiolitik dan antiinsonia bisa saja masuk kriteria “pil koplo”, bila dipakai dengan cara seperti itu.Disalahgunakan, dan diberikan pada orang lain, atau diperjualbelikan.
Tapi para pemuda itu akan menolak keras kalau dibilang pecandu, atau penyalahguna karena mereka hanya ingin fly atau “high”. Mereka bilang itu untuk kerja, untuk konsentrasi belajar, untuk PD, atau untuk tidur. Mereka tidak pernah merasa menjadi penyalahguna zat adiktif meski hidupnya tiap hari hanya untuk mencari pil-pil macam itu dan seakan tak bisa hidup bila tak menenggak tablet2 itu,
Jadi bila anda seorang dokter, dan anda manut saja didikte oleh anak2 muda itu untuk meresepi obat2 permintaannya tanpa menanyakan itu untuk apa, maka anda telah menciptakan seorang pecandu dari seorang calon pecandu, atau mendorong pecandu pemula menjadi pecandu berat (addict). Jasa anda lumayan besar dalam menghancurkan generasi muda kita sekarang.
Kalau saya, tentu saya akan sangat malu dan tak berani menghadiri Kongres Psikiatri, Seminar-seminar psikiatri apapun jika saya melakukan itu dan sejawat2 saya ber bisik2 “ngrasani” saya yang dulu dikenal sebagai psikiater adiksi sekarang menjadi psikiater yang menciptakan calon pecandu jadi pecandu, atau pecandu pemula jadi pecandu berat. Saya yang dulu susah payah mendetoks para pecandu heroin di tahun 1997an, dan mendirikan Wisma Tahitu di RSJM, bahkan dikenal mengobati vokalis2 band kenamaan di Indonesia itu, lalu tiba2 sekarang dengan mudah mau saja didikte pemuda2 itu untuk meresepi pil koplo? Bah!
Jadi yang saya kerjakan adalah psikoterapi “reedukasi” atau mendidik anak2 muda itu, dengan tegas tanpa bisa ditawar. Apakah mereka akan selamanya tergantung hidupnya pada obat2 itu? Apakah mereka tidak mau berhenti mencari obat2 itu setiap hari? Nah, mereka akan terus mendesak minta obat2 itu dan tak butuh dengan saran2 atau psikoterapi saya. Biasa, sama dengan pecandu2 heroin dulu. Butuh kepala dingin dan kesabaran luar biasa menangani mereka.
Obat2 yang dimintanya diganti dengan jenis lain, diracik diramu dengan antidepresan atau antipsikotik dosis kecil yang hanya untuk penghilang cemas. Lalu diberikan dalam kapsul. Dijamin mereka akan menolak dan balik lagi karena merasa “tak nyaman” atau tersiksa dengan obat2 kapsulan itu. Biar saja. Tegaskan pada mereka, obat2 ramuan itulah yang akan menyembuhkan mereka. Memang tidak enak, karena tak ada efek samping “fly” atau “high” nya. Nah pasien saya akan menurun banyak, anak2 muda itu pindah ke dokter lain yang mau menurutinya. Biar saja tak apa. Sejawat2 saya dokter2 lain itu nanti pada akhirnya akan sadar juga dan mengambil langkah yang sama dengan saya.
Hanya itu caranya untuk menghentikan mereka. Karena untuk gemerasi baru pil koplo ini nampaknya “pasar gelap” di luar tidak jalan. Mengapa? Jelas karena untungnya sangat sedikit berjualan pil-pil itu sedang resikonya sama besarnya dengan jualan narkotik, heroin atau ganja dan sabu-sabu. Pil koplo adalah psikotropika yang bila dipeerjualbelikan dan ketangkap, ancaman hukumannya bahkan lebih besar dari jualan narkotik.
Sayapun mengalami dipanggil kepolisian untuk memberikan keterangan ahli karena obat2 yang saya resepkan diperjualbelikan. Satu tablet yang harganya 4 ribuan bisa laku 10 ribu. Kemudian, kejaksaan memanggil saya sebagai saksi ahli dalam pengadilan, untuk kasus lain yang sejenis. Persis seperti di jaman heroin ssuntik dulu dimana setiap pecandu heroin yang ketangkap pasti pernah walau sekali berobat ke saya dan saya harus berulang kali datang ke Polres atau Polda untuk dimintai keterangan dalam pembuatan BAP. Wuah.
Tapi setelah semua resep obat saya racik dan dikapsul, Alhamdulilah tak pernah lagi pak polisi atau pak jaksa memanggil saya. Karena obat psikotropika yang dikapsul itu tak enak rasanya dan diberikan pada orang lain tak akan ada yang mau, apalagi di jual. Dan bila diminum tak sesuai aturan saya - yaitu satu kapsul pagi dan satu kapsul sore - misal 3 kapsul sekaligus, pasti nggeblag. Tidur nyenyak tak berasa apa2 - misal rasa melayang - dan paginya sukar bangun. Nah, masih ingin jadi pecandu? Tak enak bukan?
Inu Wicaksana @inukertapati-twit
---------------------------