Memang “ikhlas, sabar, tabah dan tawakkal” termasuk ajaran agama Islam yang utama, seperti juga “rila, sabar, narima” dalam falsafah hidup Jawa, terutama bagi kita yang mengalami kemalangan, musibah, nasib buruk. Tapi kitapun tahu betapa sulitnya melakukan sikap itu. Bila hal itu mudah, mungkin tak akan ada lagi orang datang ke praktek psikiatri. Selama ini selalu saja, kemarahan, kejengkelan, segala macam keluhan, dari individu-individu yang tak bisa menerima hal-hal tak terelakkan itu, muncul dalam session psikoterapi yang dijalankan para psikiater.
Seperti saudara Gb yang bermain saham dalam jumlah ratusan juta rupiah dan sial, uangnya amblas. Perusahaan yang dipertaruhkannya bangkrut. Ia jadi ambruk sakit-sakitan dengan nyeri dada dan mudah sesak nafas, badan lemas tak bertenaga, nafsu makan hilang dan sulit tidur. Pak Gb menulis ke rubrik kita, sudah 3 kali mondok di RSU, tak diketemukan kelainan fisik yang bermakna dan hasil lab nyapun normal, tapi penyakitnya tak kunjung sembuh.
Pak Gb mengalami gangguan yang disebut psikosomatik atau “faktor psikologik yang mempengaruhi kondisi/malfungsi fisik”. Tapi bisa pula hal yang berat ini disebut “depresi tersamar” diagnosis yang cukup banyak terjadi di kalangan pengusaha dan eksekutif sekitar 15 tahun yang lalu. Gejala-gejala depresi seperti kemurungan, putus asa, sudah tak nampak lagi karena telah dikonversikan ke gejala-gejala fisik yang hebat itu.
**************
Setiap manusia hidup tak bisa luput dari kemalangan, musibah, nasib buruk yang suatu saat menimpa. Ini merupakan stressor kehidupan yang berat dan tak terduga. Lalu tergantung bagaimana kita harus bereaksi, berespons, atau bersikap menghadapi hal itu. Setiap orang tahu harus bagaimana bersikap menghadapi hal itu, tapi setiap orangpun tahu bagaimana sulitnya bersikap atau bertindak menghadapi kemalangan itu. Hal ini banyak ditentukan oleh pengalaman hidup sebelumnya, dan perkembangan internal mental individu yang banyak dipengaruhi pendidikan dan kultur setempat.
Kultur (budaya) setempat adalah pandangan, pola pikir, falsafah dan pengalaman hidup yang diturunkan para leluhur pada masyarakat sekarang. Misalnya bagaimana masyarakat Bantul yang dengan “rila, sabar, narima” menerima bencana gempa bumi dahsyat yang menghancurkan rumah mereka dan menewaskan 7000 orang itu. Dalam tempo setahun, dengan bantuan pemerintah yang tak mencukupi,mereka sudah bisa bangkit membangun daerahnya menjadi lebih indah dari sebelumnya sehingga tak nampak lagi bekasnya bahwa wilayah ini pernah luluh lantak karena Tsunami gempa yang dahsyat.
Demikian pula masyarakat Cangkringan Sleman, Magelang, Klaten dan Boyolali yang terkena bencana lahar panas dan lahar dingin Merapi akhir tahun 2010 kemarin. Mereka hanya sedih dan terpekur sebentar ditempat-tempat pengungsian sementara untuk selanjutnya cepat pulang membangun sisa-sisa rumah dan sawah ladangnya. Sambat sebut yang mengharu-biru memang keluar dari mulut mereka tapi dalam hati dan pikiran mereka sesungguhnya sangat siap untuk terus hidup dan “bekerja-sama” dengan bencana itu membangun desanya kembali.
Bantuan dari pemerintah dan sumbangan-sumbangan swasta yang sangat sedikit tak membikin mereka protes dan tak mereka hiraukan. Bencana Merapi itu adalah “cobaan” atau “ujian” dari Gusti Allah atau Hyang Kang Murbeng Dumadi bagi mereka yang selama ini hidup mengenyam kesuburan dan kenyamanan tanah Merapi. Maka mereka harus bisa menerimanya dan “bekerja-sama” dengan hal tak terelakkan itu untuk bangkit dan hidup kembali.
Dalam bukunya yang tersohor tentang bagaimana mengatasi kecemasan dan depresi, Dale menulis tentang Elizabeth Conney dari Portland, Oregon dan mendiang Booth Tarkington. Elizabeth Conney telah belajar sesuatu, yaitu bahwa kita harus menerima dan bekerja sama dengan hal yang tidak terelakkan.
“Hal itu memang sudah begitu. Ia tidak bisa dirubah”. Ini bukanlah sebuah pelajaran yang mudah untuk dipelajari. Bahkan seorang raja di atas tahtanya sekalipun harus terus-menerus mengingatkan dirinya tentang hal itu. Mendiang George V telah menggantungkan kata-kata berikut ini dalam sebuah bingkai di dinding perpustakaannya di istana Buckingham : “Ajarkan saya untuk tidak menangisi bulan dan tidak pula menangisi susu yang sudah tumpah”.
Pemikiran yang sama diungkapkan oleh Schopenhauer dalam cara seperti ini: “Penerimaan kepada takdir adalah hal penting yang harus diupayakan sebagai bekal utama untuk perjalanan hidup”.
Tentu saja, keadaan saja tidak akan bisa membuat kita bahagia atau tidak bahagia. Persepsi ddan pendapat kita sendiri terhadap keadaan itu yang bisa membuat kita sengsara atau bahagia. Seperti pemikir-pemikir abad pertama dan kedua Masehi, Epictetus, seorang budak, mengatakan :”Manusia merasa terganggu bukan karena benda-benda atau suatu peristiwa, tapi karena pandangan mereka sendiri terhadap benda-benda atau peristiwa itu”.
Dan Marcus Aurelius, seorang kaisar, menulis : “Bila benda-benda luar menyusahkan anda, penyebabnya tidak berada pada benda itu sendiri, melainkan pada pendapat Anda tentang benda yang menyebabkan Anda menderita itu. Terserah pada Anda untuk merubah pendapat anda. Bila perilaku Anda membuat Anda terganggu, siapa yang melarang anda merubahnya?”.
Kita bisa menghadapi setiap bencana dan tragedi serta memenangkan mereka semua – jika kita harus melakukannya. Masyarakat Bantul mungkin tidak pernah berpikir kalau mereka bisa mengatasi tempat tinggal dan hidupnya yang porak poranda, tapi mereka dengan cara yang mengejutkan telah berhasil menguatkan sumber daya di dalam diri mereka sendiri yang akan memastikan mereka untuk bisa melewati semuanya asal nereka mau menggunakannya. Kita lebih kuat dari apa yang kita fikirkan.
Mendiang Booth Tarkington mengatakan, bahwa dia bisa menerima segala sesuatu yang dipaksakan oleh hidup kepadanya kecuali : kebutaan. Pada usia yang ke enampuluh, pandangan matanya mulai kabur dan dokter spesialis matanya menemukan suatu kebenaran yang tragis: Tarkington akan kehilangan penglihatannya. Salah satu matanya hampir buta, sedang yang lainnya menyusul. Bagaimana Tarkington menghadapi bencana terburuk ini? Apakah ia ingin mati saja? Tidak. Ia baik-baik saja.
Ketika kegelapan total akhirnya datang, Tarkington berkata: “Saya menyadari bahwasaya bisa menerima hilangnyapenglihatan saya, seperti orang lain juga bisa menerima semuanya. Seandainyapun saya kehilangan kelima indera saya, saya tahu kalau saya masih bisa hidup di dalam pikiran saya. Karena sesungguhnya di dalam pikiranlah kita melihat, dan di dalam pikiranlah kita hidup, tidak peduli apakah kita mengetahuinya atau tidak”
---------------------------