Tak Tahan Dikritik


Siapa pula orang yang tak pernah dikritik dalam hidupnya? Sejak kecil sampai lanjut usia tentu manusia pernah menerima kritik dari orang lain. Ada kritik yang biasa saja ada pula yang pedas menyakitkan. Demikian pula ada orang yang tahan terhadap kritik ada yang tak tahan dan menderita. Seperti Pak Han yang menulis ke KR Minggu, bahwa ia terpaksa pindah dari pekerjaannya yang bagus di bagian analis kredit sebuah Bank besar di Jakarta, karena tak tahan dengan kritik terus menerus dari rekan-rekan kerjanya sendiri. Lalu pindah ke Bank lain di Jakarta.
Disinipun ia mendapat kritikan pedas, bahkan dari atasannya, maka ia keluar. Ia beruntung mendapat pekerjaan di Bank luar Jawa. Tapi tak lebih dari setahun ia mendapat kritikan tajam dari rekan-rekan dan atasannya. Ia mengalami nyeri dada berulang kali, sesak napas, pusing berdenyut, berkeringat dingin dan gemetaran, mual-mual dan sulit tidur. Pak Han mengalami mungkin psikosomatik, atau gangguan lain, somatoform sebagai pemindahan dari konflik-konfliknya tak tahan dikritik. Ia kebingungan karena di semua tempat kerja kok selalu ada orang jahil yang mengkritiknya dengan menyakitkan.
**************
Memang kritikan ada dua, kritik yang destruktif, didasari kebencian dan berupaya menghancurkan, menjatuhkan, atau sekedar mengejek sebagai pelampiasan, dan kritik membangun yang tulus didasari untuk kebaikan atau pelurusan. Keduanya dibedakan dengan gaya bahasa yang digunakan, dan cara kritik itu dilancarkan. Namun kadang prakteknya, apalagi bila emosi sudah terluka, kita sukar membedakan keduanya. Kadang ada pula kritik yang dilontarkan asal-asalan, asal bunyi atau asal tulis tampa motif apa-apa.
Berulang kali saya katakan pada individu yang berkonsultasi pada saya untuk “ndableg” saja, atau “cuek” atau “tak peduli”, tapi nampaknya ini sulit dikerjakan oleh mereka yang terkena kritik itu. Jadi dibutuhkan contoh yang mantab.
Mayor Jendral Smedley Butler, seorang jenderal Marinir Amerika Serikat yang tersohor sebagai Si Tua “Setan Neraka” Butler dalam wawancaranya dengan seorang wartawan penulis Amerika menceritakan bahwa sejak muda ia ingin menjadi seorang yang populer, ingin membuat sebuah kesan yang baik pada semua orang. Pada masa itu kritikan yang paling kecil sekalipun akan membuatnya menjadi panas dan menderita. Tapi kemudian 30 tahun di Marinir telah mengeraskan kulitnya.
“Saya pernah dicemooh dan dihina”, katanya, “dan dicaci maki bagai seekor anjing buduk atau ular. Saya telah pernah dikutuk dan disumpahi oleh pakar-pakar perang. Saya pernah dijuluki dengan semua kombinasi paling mungkin dari kata-kata kotor yang tak bisa dicetak yang terdapat dalam bahasa Inggris. Apakah itu sekarang mengganggu saya? Tak akan! Ketika saya mendengar seseorang menyumpahi saya sekarang, saya tak pernah berpaling kepala untuk melihat siapa yang bicara”.
Nah, ini contoh paling mantab dari sikap “ndableg” terhadap kritik. Baik kritik destruktif, membangun atau lebih banyak, kritik asal bunyi. Jendral yang kebal kritik ini telah membuktikan dirinya menjadi tokoh perang paling ditakuti lawan dan paling berjasa bagi negerinya di jamannya. Tapi kebanyakan dari kita memang tak kebal kritik dan sukar bersikap “cuek” bila dikritik.
Direktur saya di RSJ tempo dulu, tahun 1993an, dr Nanang A. Parwoto SpKJ, pernah menasehati saya dan senior saya dr Wildan SpKJ yang sering bingung bila dikecam orang. Pak Nanang memandang tegas ke mata kami dan berkata : “Jangan pernah terganggu dengan apa yang dikatakan orang, selama anda tahu di dalam hati anda bahwa anda benar”. Kata-kata ini bertahun-tahun kemudian seakan-akan menjadi “Benteng Vredeburg” bagi kami dalam pekerjaan kami di lapangan kesehatan jiwa masyarakat. Makin tinggi jabatan dan kedudukan seseorang, tentu makin banyak pula kritik yang dialami. Makin tinggi pohon, makin hebat pula terpaan angin padanya.
Matthew C. Brush menjadi presiden American International Corporation di 40 Wall Street menulis dalam bukunya, “Jika kamu menempatkan kepalamu diatas kumpulan orang, kamu akan dikritik. Jadi biasakan dengan hal itu”. Hal ini membantu saya dengan luar biasa, tulis Matthew. Sejak saat itu saya menjadikannya sebagai peraturan untuk melakukan hal terbaik yang bisa saya lakukan dan kemudian memakai “payung tua” saya dan membiarkan hujan kritikan mengalir ke bawah dan bukannya membasahi leher saya.
Deems Taylor menulis dalam bukunya Of Men and Music, bahwa ketika ia bekerja sebagai komentator radio Philharmonic-Symphony Orchestra, seorang wanita menulis surat kepadanya yang menyebutnya sebagai “Seorang pembohong, seekor ular, dan orang gila”. Pada siaran minggu berikutnya, Taylor membacakan surat itu di radio pada jutaan penggemarnya – dan menerima surat lain dari wanita yang sama beberapa hari kemudian, “mengungkapkan pendapatnya yang tidak berubah”, kata Taylor, “bahwa saya masih seorang pembohong, seekor ular dan orang gila”. Nah, sekarang, siapa yang “gila” sesungguhnya? Wanita pengkritik itu atau Taylor yang dikritik dan mempunyai jutaan penggemar? Kita tak bisa mengelak untuk mengagumi kejujuran, ketenangan, dan selera humor seseorang yang menerima kritikan sadis seperti itu.
Ketika saya masih kecil, bapak saya membangun rumah dan seorang tukang batunya terlibat perdebatan seru dengan tukang-tukang lain yang berawal dari kritikan kepadanya. Akhirnya tukang-tukang lain menyeretnya dan mendorongnya masuk selokan berlumpur. Semua mentertawakan dan mengejeknya sebagai orang goblog dan tak becus. Tapi si tukang batu hanya tertawa saja, malah cekakaan dan melempar-lemparkan lumpur pada teman-temannya. Bapak saya menunjukkan itu contoh sikap yang baik, “hanya tertawa saja” bila dikritik. Esoknya tukang-tukang lain tak pernah ada yang mengkritiknya lagi karena percumah mengkritik orang macam dia.
13129112641233849914
Pendopo Mangkubumen tempat kuliah Tingkat 1 FK UGM tempo dulu dengan halaman depan tempat perploncoan yg legendaris FK UGM Kompleks Ngasem, saya foto Juli 2011 - dok.pribadi.
13129115501208218525
Gedung Ruang Dekan dan Administrasi FK UGM tempo dulu di Kompleks Ngasem Mangkubumen, di sebelah utara pendopo tempat kuliah Tingkat 1 FK UGM di Kompleks Ngasem Mangkubumen.
13129118152123816177
Ruang Kuliah Tingkat 2 yang berhadapan dgn Tingkat 3 atau 4 di sebelah utara Pendopo tempat kuliah Tingkat 1 FK UGM di kompleks Ngasem Mangkubumen. Dinding ruang ini sekarang di kaca, dipakai untuk seminar2 mahasiswa Univ Widya Mataram. Saya foto Juli 2011 - dok.pribadi
13129120871570711196
Warung makan mhsw FK UGM tempo dulu di Mangkubumen. Warung ini terletak di sebelah timur gedung kuliah Tingkat 2 di Ngasem. Mahasiswa FK UGM makan disini diantara kuliah dan praktikum. Saya foto Juli 2011 - dok.pribadi.
Jenderal Mac Arthur mempunyai salinan tulisan pernyataan dari Lincoln yang digantungkan di atas meja di markasnya selama perang, demikian pula Winston Churchill memiliki salinan itu yang di bingkainya di dinding ruang belajarnya di Chartwell. Bunyinya sebagai berikut: “Seandainya saya mencoba membaca jauh lebih sedikit dari menjawab semua serangan yang ditujukan kepada saya, kantor ini bisa jadi ditutup. Saya melakukan hal terbaik dari apa yang saya ketahui caranya – hal terbaik yang saya bisa, dan saya bertekad untuk terus melakukan hal itu sampai akhir. Bila akhirnya semua berjalan dengan baik, apa yang dikatakan oleh orang yang menentang saya tak akan jadi masalah. Tapi bila akhirnya segala sesuatunya berjalan dengan salah, andai ada sepuluh malaikat bersumpah bahwa saya benarpun tak akan ada bedanya

---------------------------