“Depression, True Global Crisis” atau Depresi, Suatu Krisis Global” adalah tema Hari Kesehatan Jiwa Sedunia Ke 20 hari ini tahun ini. Depresi adalah gangguan mental yang bisa terjadi pada setiap orang pada semua tingkat usia. Berdasar penelitian di Amerika, setiap manusia dalam sejarah hidupnya mengalami depresi, meski tingkat ringan sampai sedang, paling tidak tiga kali. Wanita lebih rentan terkena depresi dengan rsio 2:1 dengan laki-laki. Karena wanita lebih banyak menanggung beban keluarga terutama sosial ekonomi untuk memelihara anak2nya.
Depresi memang gangguan mental yang termasuk paling banyak terjadi di masyarakat. Depresi bisa terjadi pada tetangga-tetangga di sekitar kita, rekan2 kerja kita, keluarga kita dan mungkin kita sendiri. Depresi bisa terjadi secara individual maupun secara massal dalam jumlah besar pada populasi-populasi di masyarakat.
Secara psikodinamik depresi terjadi karena kehilangan obyek yang dicintai (love object) yang bisa berupa apa saja, cedera ego, lalu agresivitas yang dibalik pada diri sendiri yang berakibat cenderung merusak diri. Secara umum depresi bisa diartikan “sedih yang berkepanjangan”. Karena sudah merupakan suatu gangguan (“disorder”) maka pada depresi selalu ada kekakuan adaptasi, cedera ego dan suatu distress atau penderitaan subyektif.
Sebagai gangguan mental, depresi ditandai dengan perasaan sedih yang berat berkepanjangan, putus asa dan merasa tak tertolong lagi, tak bisa merasakan kegembiraan bersama orang-orang lain (anhedonia), kehilangan minat dan rasa senang pada semua kegiatan dan aktivitas waktu senggang, merasa tidak berguna, nafsu makan dan berat badan menurun, tubuh lemah dan sakit2an. Pada depresi berat bisa disertai gejala psikotik akan ditandai dengan waham2 bersalah dan rendah diri dengan halusinasi, isolasi sosial berat, defisit perawata n diri dan resiko/kecenderungan bunuh diri.
Sekitar 20 tahun yang lalu, muncul “depresi terselubung” atau Mask Depression, yaitu gangguan depresi yang semua gejala depresinya telah “dikonversikan” menjadi gejala2 fisik seperti mual2 muntah, pusing2 dan lemas, kejang2 sampai mudah pingsan. Ini banyak mengenai kalangan eksekutif, manajer-manajer, pejabat2 pemerintah maupun swasta yang setiap hari harus tampil gagah dan meyakinkan tapi dalamnya telah keropos.
Depresi massal dalam masyarakat bisa dipicu oleh krisis sosial ekonomi seperti tahun 1965 atau 1997, bencana alam atau keadaan darurat perang, ketidakadilan, pemerintah yang tidak konsisten, korupsi yang berlangsung terus tanpa bisa dikurangi, kehidupan sosial ekonomi yang sangat menekan, tk adanya harapan bagi masyarakat, dan kecemburuan sosial. Depresi massa bisa meledak dalam bentuk demo, perusakan dan pembakaran toko dan gedung2, perampokan besar-besaran, yang disebut “depresi agitasi” atau “amuk massa”.
KOMPAS hari ini menulis di hlm pertama, kegiatan Menyambut Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yng ke 20 hari ini masih berlangsung “konvensional”. Kegiatan pemasangan poster-poster dan fun-bikeyang berlangsung di empat kota besar, upacara-upacara, seminar dan bazar, pentas seni dengan artis-artis. Tapi sesudah itu, tak ada bekasnya. Penderita depresi berat dengan psikotik dan skizofrenia tetap harus hidup sendiri di gubugnya yang sepi. Bagaimana mereka harus kontrol ke RSJ, RSUD, atau Puskesmas setempat padahal mengurus dirinya sendiri se hari2 saja mereka tak mampu?
Penanggulangan masalah kesehatan jiwa, seperti depresi, masih belum dirancang sebagai suatu gerakan masyarakat, tulis KOMPAS. Padahal , pemanfaatan media sosial amat memungkinkan menjangkau masyarakat luas, selain lebih murah. Tapi diskusi-diskusi saja, saling tukar pikiran, saling bercengkerema di media sosial, tanpa sedikitpun ada tindakan nyata pada penderita-penderita gangguan mental berat yang sangat banyak jumlahnya tersembunyi di seluruh pelosok wilayah negara, tetap saja hampir-hampir tak ada gunanya.
Penderita depresi ringan sampai sedang relatif masih bisa mengurus dirinya sendiri, karena meski ada defek ego tapi tak sampai runtuh seperti pada depresi berat dengan ciri psikotik atau skizofrenia. Penderita depresi berat psikotik harus ditolong untuk dibawa ke Puskesmas atau RSUD setempat untuk nantinya dirujuk ke RSJ, atau langsung dibawa ke RSJ. Setelah mondok 1-2 bulan kemudian harus diambil pulang dan kontrol ke RSJ atau Puskesmas tiap bulan. Bila keluarga sudah tidak ada, atau orangtua tinggal bapak atau ibu yang sudah renta, bagaimana penderita itu bis sampai ke fasilitas pelayanan medik-psikiatrik atau kontrol kesana? Dan bila tidak dibantu, penyakitnya akan berkembang secara progresif dan akhirnya dipasung atau setengah dipasung oleh tetangga, atau dibiarkan menggelandang.
Barulah Dinas Sosial akan menggaruknya, bila lagi tak ada kerjaan lain, dan membawanya ke RSJ dengan diberi fasilitas Jamkesmas alias perawatan gratis. Tapi bila sudah diterapi jadi baik, siapa yang akan mengambilnya nanti? Dinas Sosial yang di tilpun dan disurati ber kali-kali oleh RSJ selalu menjawab masih sibuk, belum sempat, atau panti sosialnya penuh tak ada tempat. RSJ tak mungkin merawatnya selamanya karena pasti akan penuh dan tak bisa menerima pasien2 lain yang gaduh gelisah dan sangat membahayakan di luar.
Penyandang depresi berat dengan psikotik, atau skizoafektif tipe depresi, seperti juga skizofrenia adalah individu-individu yang membutuhkan orang lain yang waras untuk “mengurus hidupnya” seumur hidup. Mengapa masyarakat sekitar tak ada yang peduli dengan mereka? Mengapa tak ada LSM-LSM yang terdiri atas orang-orang sehat jiwanya dan mampu untuk menolong mereka? Sekitar 25 tahun yang lalu dibentuk suatu badan lintas sektoral yang disebut Badan Pembina Kesehatan Jiwa (BPKJM) tingkat propinsi dan kabupaten yang dimaksudkan untuk merencanakan program dan melakukan pertolongan pada para penyandang gangguan jiwa berat itu, tapi diseluruh wilayah negara tak ada gaungnya.
Kemudian dirubah menjadi Tim Pembina Kesehatan Jiwa Masyarakat (TPKJM) supaya lebih “operasional” tapi nyatanya sama saja sekarang tak nampak ujud dan gemanya. Masalah kesehatan jiwa dan gangguan jiwa bagi bangsa kita masihjuga belum dianggap penting untuk dipikirkan apalagi ditanggulangi. Hanya saya dan rekan-rekan psikiater dan perawat jiwa di RSJ yang setiap hari menghadapi mereka bertahun-tahun lah yang memikirkan bagaimana penderita itu hidup di rumahnya nanti dan bagaimana mengupayakannya supaya bisa datang kontrol teratur. Jamkesmas memang banyak sekali membantu, tapi transport umum sekarang biaya tinggi yang harus ditanggung penderita dengan keluarganya itulah yang wajib dipikirkan.
Apakah acara Sepeda Sehat (fun-bike) SEPERTI Hari Minggu (14-10-12) akan efektif dan ada gaungnya? Tulis KOMPAS. “Kalau dikatakan efektif mungkin belum, tapi kegiatan ini dilakukan di pusat kota Jakarta yang dihadiri oleh jajaran pemerintah danstakeholders terkait hingga diharapkan masyrakat jadi aware. Mengerti akan makna peringatan hari tsb. Selain itu, Sepeda Sehat merupakan salah satu implementasi dari gaya hidup sehat yang perlu kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari kita”, ujar seorang pejabat Kemenkes. Ya, gaya hidup sehat untuk mereka yang jelas sehat jiwa raganya dan cukup mampu untuk beli sepeda sehat yang tidak murah.
Apakah saat mereka bersepeda gembira, tertawa-tawa dengan peserta yang lain, mereka juga bisa membayangkan para penderita gangguan jiwa berat, seperti depresi berat dan skizofrenia, di gubug-gubugnya yang kecil, gelap, kotor dan sepi dengan kaki sebelah dirantai ke tiang berbulan-bulan, atau menggelandang dan tidur di sudut-sudut pasar dan langgar? Apakah sesudah acara Sepeda Sehat yang gembira itu mereka lalu langsung membentuk komunitas-komunitas “peduli gangguan jiwa berat” dan lalu langsung membentuk satgas-satgas pengawalan penderita-penderita itu ke fasilitas pelayanan keswa dan membantu transportnya untuk kontrol tiap bulan? Apakah mereka juga memikirkan untuk membantu penderita itu mendapat pekerjaan untuk hidupnya sendiri?. Ah, “jauh panggang dari api bukan?” bukan?****
---------------------------